Jumat, 18 Januari 2013

Walhi: Sengketa Agraria Berdarah, Reformasi Agraria Tak Bisa Ditawar

SUARAAGRARIA.com, Jakarta - Tewasnya seorang anak kecil, Angga bin Darmawan (12 tahun), dan jatuhnya beberapa korban luka asal Desa Limbang Jaya, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir di tangan Brimob Polda Sumatera Selatan (Sumsel) mencerminkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya.

Beberapa korban luka hingga saat ini masih dirawat. Korban luka dan tewas diduga kuat adalah akibat serangan Brimob yang merangsek masuk ke dalam pemukiman warga.

“Setiap konflik agraria selalu disertai pelanggaran HAM, terutama terhadap kaum tani. Petani selalu ditempatkan sebagai pihak yang salah dan kalah. Sebaliknya, aparatur negara  justru berada di posisi yang berlawanan dengan rakyat. Mereka menjadi pelindung dan penjaga para pemilik modal. Pemerintah juga tidak melakukan upaya secara adil dan beradab dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan petani tersebut,” demikian bunyi siaran pers Walhi baru-baru ini.

Pemerintah Tak Netral Tangani Sengketa Agraria

Walhi kemudian mempertanyakan netralitas pemerintah dalam menyelesaikan sengketa agraria. Karena alasan menyelesaikan konflik agraria antara petani dengan PTPN VII, Pasukan Brimob tidak semestinya mengeluarkan tembakan secara sembarangan yang berakibat korban tewas dan luka.

Tidak hanya itu, Walhi juga memprotes kebijakan polisi yang tetap saja menempatkan aparat Brimob di lapangan. Seperti diketahui Polda Sumsel mengeluarkan kebijakan tidak akan menarik pasukan dan justru akan menambah pasukan. “Menunjukkan arogansi kepolisian dan hilangnya netralitas polisi dalam menjaga ketertiban, serta semakin memperkeruh suasana di lapangan,” tegas Walhi.

Jika penempatan pasukan bertujuan untuk pengamanan aset negara, justru patut dipertanyakan. Karena lebih dari 20.000 Ha tanah yang diklaim milik PTPN VII justru tidak memilik Hak Guna Usaha. Artinya lebih dari 30 tahun PTPN VII mengoperasikan tanahnya secara ilegal. Berdasarkan surat keterangan Badan Pertanahan Nasional, tanah PTPN VII yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) hanya 6.512,423 Ha.

Dengan demikian Walhi menegaskan bahwa kejadian berdarah ini bukanlah bentrokan antara petani (baca: warga) dengan aparat. Hal ini penting mengingat lokasi penembakan terjadi berada di pertengahan pemukiman penduduk, kurang lebih 10 Km dari lokasi pabrik PTPN VII Unit Usaha Cinta Manis.

Walhi juga mengungkapkan bahwa sesungguhnya para petani berniat menyelesaikan sengketa agraria dengan jalan damai. Sebab pada 16 Juli 2012, perwakilan petani Ogan Ilir telah mendatangi Mabes Polri, BPN, dan Kementerian BUMN. Sayangnya tidak ada solusi kongkrit dalam menyelesaikan sengketa agraria dimaksud.

Solusi Sengketa Agraria Dengan Kekerasan Bukan Kali Ini Saja

Walhi mengungkapkan beberapa data yang menunjukkan bagaimana penyelesaian sengketa agraria dengan cara-cara anarkis. Dalam bulan ini. 17 Juli 2012, Polres Ogan Ilir Sumsel telah menangkap 12 orang terkait konflik dengan PTPN VII, termasuk satu kejadian dimana ibu dan anaknya yang masih berumur 1,5 tahun dibawa ke Polres Ogan Iir.

Keesokannya, 18 Juli 2012, terjadi konflik pertambangan dengan PT. CMA di Donggala, Sulawesi Tengah yang mengakibatkan 19 orang ditangkap, 4 tertembak dan 1 orang (atas nama Masdudin) meninggal dunia di RS Palu akibat luka tembak serius.

Pada 23 juli, dua orang petani anggota SPI Jambi ditangkap pada saat menghadiri undangan dari Dinas Kehutanan Kabupaten Batanghari dalam diskusi rangka penyelesaian konflik antara petani dengan PT. REKI.

Tindakan aparat tersebut jelas telah melanggar Undang-Undang Republik Indonesia No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 2, yaitu tidak boleh seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. Tindakan kekerasan dan penembakan oleh aparat brimob jelas merupakan tindakan yang brutal dan melanggar hak masyarakat yang dijamin dalam Konstitusi Republik Indonesia UUD 1945 Bab XA.

Walhi juga sangat menyayangkan sikap kepolisian yang tidak mampu bersikap mandiri dan diduga memihak kepada golongan pemodal. Apalagi selama ini, dalam kasus sengketa lahan dengan perusahaan, petani selalu berada dalam posisi rentan, secara sosial, ekonomis dan politis. Untuk itu, polisi diharapkan lebih proaktif dan mendalam saat menangani kasus sengketa lahan tersebut.

Secara khusus Walhi Berikut bunyi lima tuntutan Walhi dan Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia:
1.Tragedi Limbang Jaya berdarah ini bukanlah bentrokan antara warga (yang mayoritas petani) dan aparat Brimob Polda Sumsel, melainkan serangan langsung kepolisian terhadap masyarakat yang seharusnya mereka lindungi.
2.Presiden SBY untuk memerintahkan Kapolri dan juga TNI untuk menarik seluruh pasukannya dari wilayah konflik agraria.
3.Pihak kepolisian agar mampu bersikap mandiri dan tidak memihak kepada golongan pemodal, sesuai dengan visi dan misi Polri. Hal ini penting untuk menghentikan kekerasan dan kriminalisasi petani.
4.Penghentian segala bentuk perampasan tanah rakyat dan mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dirampas.
5.Sekarang juga dilaksanakan pembaruan agraria sejati sesuai, berpedoman kepada UUD  1945 dan UUPA No.5 /1960.

sumber/
source:

suaraagraria.com


Related Post:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar