Senin, 07 Oktober 2013

Kurnia Toha: Peradilan Khusus Pertanahan Itu Penting dan Harus Ada

SUARAAGRARIA.com, Jakarta: Selama ini sengketa pertanahan, kalau mediasi buntu, diselesaikan lewat jalur peradilan umum. Sayangnya, seperti yang sudah-sudah, peradilan umum itu mahal, lama dan selalu mengedepankan bukti otentik tertulis. Walhasil banyak sekali kasus pertanahan yang tidak selesai-selesai. Harus ada peradilan khusus pertanahan.




Demikian dipaparkan Kurnia Toha, Kepala Pusat Hukum & Hubungan Masyarakat/Juru Bicara BPN RI, dalam menyambut Hari Tani Nasional, Hari Agraria Nasional dan Ultah Konsorsium Pembaruan Agraria, di Jakarta Pusat (27/9).




"Nantinya dalam peradilan khusus itu hakim-hakimnya diisi oleh orang-orang yang harus paham dalam bidang pertanahan, filosofi teori-teori latar belakang keluarnya suatu peraturan," ujar Toha.




Sayangnya, lanjut Toha, wacana pembentukan peradilan pertanahan masih belum mendapatkan penerimaan yang positif. "MA saja keberatan dengan adanya pengadilan pertanahan, menurut MA peradilan saat ini sudah berjalan sangat bagus," tukasnya.




Toha terus terang tidak sepakat dengan MA (Mahkamah Agung). Menurutnya, kalau sudah bagus, tentu kita tidak akan memintanya. "Kita kan bukan orang kurang kerjaan bikin-bikin peradilan baru," katanya.




Lalu Toha mencontohkan kelahiran KPK. Lembaga itu muncul karena instansi yang ada selama ini kurang efektif. Nah, hadirnya peradilan pertanahan juga begitu, karena pengadilan yang ada juga belum maksimal.




"Begitu juga ide lahirnya peradilan pertanahan, karena banyak kasus pertanahan tidak selesai-selesai. Kita harapkan final decission ada di pengadilan, ternyata pengadilan kadangkala dalam satu perkara putusannnya macam-macam," keluhnya.




"Di PTUN si A yang menang, nanti di (Pengadilan-red) Pidana malah si A yang jadi terpidana, lalu di perdata A kalah lagi. Lalu kita mau jalankan yang mana, BPN bingung sendiri mau melaksanakannya gimana, kalau begini kasus pertanahan di Indonesia ini gak akan selesai-selesai," terangnya.




Makanya lewat RUU pertanahan yang sedang dibahas, BPN RI mengusulkan supaya ada peradilan pertanahan yang merupakan bagian dari peradilan umum, adhoc. Kemudian prosesnya bisa berlangsung dengan cepat, yaitu hanya PN dan MA. Waktunya pun dibatasi, dan alat-alat bukti yang dipakai tidak hanya yang tertulis saja, tapi juga yang tidak tertulis.




Selama ini, lanjut Toha, penyelesaian sengketa pertanahan bertele-tele, ada empat tingkat dan selalu ada PK. Juga tidak berpihak kepada nilai-nilai yang dianut masyarakat kita, hukum acaranya membutuhkan bukti-bukti otentik tertulis.




"Sedangkan masyarakat kita lebih mengutamakan bukti tidak tertulis. Kalau tidak bersengketa dipastikan yang menang yang punya bukti tertulis. Kalau dulu Belanda lah yang memilikinya, kalau sekarang yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi dan perusahaan-perusahaan," pungkasnya.


BACA JUGA BERITA TERKAIT BPN RI:


Ini Kata BPN RI Soal Sulitnya Penyelesaian Konflik Agraria di Negara Ini


Sengketa Tanah Marak, Kewenangan BPN RI Ternyata Terbatas


DPR Minta Hendarman Supanji Segera Bersihkan Mafia Tanah Dari BPN RI


Hendarman Supandji: Tanah Jadi Komoditi, Sengketa Lahan Jadi marak


Hendarman: Quick Win BPN RI Diharapkan Lebih Tingkatkan Kepercayaan Masyarakat


Kata Menpan BPN RI Banyak Mengalami Perubahan


Ronsen Pasaribu: Batasi Koorporasi Dalam Penguasaan Lahan, Segera !




Technorati : ,

Del.icio.us : ,

Zooomr : ,

Flickr : ,

Sabtu, 05 Oktober 2013

Noer Fauzi: Negara Ini Sedang Melakukan "Pelestarian Konflik Agraria" Terstruktur!

SUARAAGRARIA.com, Jakarta: Melestarikan lingkungan hidup itu bagus. Melestarikan budaya bangsa itu memang sudah seharusnya. Tapi kalau "melestarikan konflik agraria" ? Itu sih demennya pasar kapital dan para pengusungnya yang mata duitan.




Lha memang begitu. Pasar Kapital memang profilnya seperti itu, egois, mengagungkan materi, keuntungan, memaksa, destruktif dan selalu bekerja atas motif rente.




"Penjelasan mengenai konflik agraria yang belum banyak diungkap adalah sebab-sebab struktural dari padanya, yang berhubungan dengan bagaimana pasar kapitalistik bekerja," papar Noer Fauzi Rachman, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute.




Cara Kerja Pasar Kapital


Noer Fauzi mengungkapkan beberapa karakteristik mekanisme kerja pasar kapital: dinamis, memaksa, destruktif dan mengagungkan keuntungan.




"Negara Indonesia secara terus menerus dibentuk menjadi neoliberal dalam rangka melancarkan bekerjanya ekonomi pasar kapitalis," demikian pengamatannya.




Sistem kerja kapitalis pada intinya adalah bagaimana pelaku-pelaku sistem ini bisa selalu mengakumulasikan keuntungan. Falsafah "harus untung dan kemudian melipatgandakannya" ini hanya bisa diraih lewat kata-kata sakti, "kemajuan" dan kecanggihan teknologi.




Maka, hal-hal yang dinilai tidak menguntungkan, atau yang tidak bisa dilipatgandakan keuntungannya, tidak efisien, tidak kompentitif, haruslah segera disingkirkan. Hal ini sesuai pula dengan "kata-kata bijak" pengagum kapitalisme: "Ekonomi pasar kapitalis harus terus bergerak. Kalaut tidak dia mati".




Jadi, lanjut Noer, siapapun dan apapun yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengan pasar kapitalis itu harus mati (baca juga: hancur), atau setidaknya dibiarkan mati begitu saja. Lalu dari yang mati itu, atau yang telah dihancurkannya itu, akan dibangunlah sesuatu yang baru. Untuk apa? Lagi, demi keuntungan dan berlipatgandanya keuntungan.






Pelestarian Konflik Agraria Terstruktur Itu Bagian Dari Sistem Pasar Kapitalis


Lalu apa hubungannya antara pelestarian konflik agraria terstruktur dengan sistem pasar kapitalis?




Sebelumnya harus dipahami dahulu yang dimaksud dengan Konflik Agraria Struktural. Menurut Noer definisinya adalah merujuk pada pertentangan klaim atas hak akses tanah, SDA (Sumber Daya Alam), dan wilayah antara suatu kelompok masyarakat pedesaan dengan badan-badan penguasa tanah yang bergerak dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi dan sejenis lainnya. Pihak yang bertentangan itu lalu saling klaim pihak lain tidak absah.




Lalu ada pihak ketiga, lembaga-lembaga negara yang memberikan izin pada badan usaha tertentu. Badan-badan dimaksud adalah Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, BPN RI, Gubernur, Bupati, yang memberikan izin atau hak kepada badan usaha tertentu.




Konflik agraria struktural dimulai ketika keputusan-keputusan kepala lembaga-lembaga negara itu memasukkan tanah, SDA dan wilayah-wilayah milik rakyat ke dalam konsesi-konsesi agraria yang bergerak dalam bidang ekstraksi, produksi maupun konversi berbasiskan SDA.




Lalu izin tersebut kemudian mengeksklusikan kelompok masyarakat dari tanah, SDA dan wilayah kelolanya. Jadi akses kelompok masyarakat tersebut terhadap tanah, SDA dan wilayah yang tadinya milik mereka menjadi terbatas atau bahkan dihilangkan. Contoh konkretnya adalah konflik agraria yang timbul akibat ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit.




Nah inilah yang sedang terjadi, konflik agraria struktural sedang dalam "program pelestarian bangsa". Bentuk-bentuk pelestarianya bisa dilihat dari ketiadaan koreksi atas keputusan-keputusan pemberian hak atau izin dari rezim yang berkuasa, ketidakterbukaan informasi publik atau lemahnya kontrol publik terhadap penerbitan izin-izin.




Kemudian lembaga yang memiliki otoritas penuh, lintas sektor antar lembaga pemerintah dalam menangani konflik agraria tidak ada.




Hal tersebut diperparah lagi dengan sikap defensif badan usaha dan badan-badan pemerintahan jika masyarakat protes soal hak-haknya. Jawabannya yang diterima sering terjadi kriminalisasi dan intimidasi. Babak belur, peluru nyasar atau masuk bui itu seolah sudah biasa kita dengar dan baca dalam headline media-media cetak, elektronik maupun online.


BACA, SERIUS: Kok Konflik Agraria Sering Ujung-ujungnya Kriminalisasi Petani? Standar Orde Baru


Adalagi, pelaksanaan reforma agraria yang sering digaung-gaungkan lembaga-lembaga negara terkait urusan pertanahan sempit sekali ruang lingkupnya (Pakar Pertanahan Gunawan Wiradi, bahkan lebih ekstrem lagi menyebutnya: bukannya sempit, tapi salah kaprah!).


BACALAH: Sertipikasi & Bagi-bagi Tanah Adalah Reforma Agraria, Salah Kaprah!!


"Lebih dari itu, kita menyaksikan berbagai skandal dalam implementasi redistribusi tanah, misalnya pemberian tanah bukan kepada mereka yang memperjuangkan, pengurangan jumlah tanah yang seharusnya diredistribusi, penipuan dan manipulasi nama-nama penerima maupun objek redistribusi, dan tanah-tanah yang diredistribusi dikuasai oleh tuan-tuan tanah," urai peraih Ph.D bidang Environmental Science, Policy & Management dari University of Barkeley USA ini.




BACA JUGA TERKAIT:


Gunawan Wiradi: Reformasi Agraria Itu Berarti Melakukan Perubahan, Titik!


Konflik Agraria di Seluma Bengkulu Terindikasi Korupsi Pembobolan LC Fiktif BNI 1,2 triliun


DPR: BPN RI & PTPN Jangan Unjuk Kekuatan Hukum Ke Masyarakat Awam Hukum


Konflik Agraria 350 Ha di Karawang, BPN RI, Mana Komitmenmu?


Konflik Agraria di Sumut Perlu Diwaspadai


Konflik Agraria Petani Vs Korporasi, Polri Kerap Tak Netral


Konflik Agraria Sumut: Ribuan Petani Tuntut PTPN III Kembalikan Tanah, Diserobot Sejak 1968


Konflik Agraria Waduk Bubur Gadung Indramayu, Puluhan Petani Dianiaya Preman


Perluasan Lahan PTPN VI 42 Ribu Ha, Konflik Agraria di Sumbar-Jambi Akan Meningkat?


SPI: Gerakan Reformasi Agraria Itu Harus Konkret, Lebih Operasional di Lapangan


Kamis, 11 Juli 2013

Konsorsium Pembaruan Agraria: Stop Kriminalisasi Petani & Jalankan Reforma Agraria Sejati

SUARAAGRARIA.com, SIARAN PERS KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA (KPA) Jakarta:Hari Senin 21 Januari 2013, rombongan petani Jambi yang long march dari Jambi ke Jakarta akan menyampaikan aspirasinya. Mereka akan menuju ke Gedung DPR RI. Sebagai bentuk solidaritas, ribuan petani dari berbagai daerah akan berbondong-bondong masuk Jakarta.




Selama di Jakarta, Petani akan Berkemah di Kantor-kantor Pemerintah untuk melakukan aksi serempak menyerukan Penghentian Kekerasan terhadap Petani, Pengusiran petani dari lahan dan pencaplokan tanah atas nama investasi. Petani akan berada di Jakarta dan terus melakukan protes sampai tujuan utama yaitu pelaksanaan reforma agraria akan dijalankan oleh pemerintah.








Kasus Senyerang Jambi, Mesuji Lampung, Takalar Sulawesi, Tasik Jawa Barat, dan daerah lainnya semakin meningkat ke arah konflik sosial yang lebih luas. Hal ini terjadi karena tidak ada sama sekali tindakan kongkrit dari Pemerintah untuk menyelesaikan kasus yang ada. Selama kepemimpinan SBY, kasus tanah justru semakin meningkat dan menambah catatan buruk kepemimpinan SBY. Kebijakan SBY lebih mementingkan investasi modal besar, padahal dengan 230 juta penduduk dan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia seharusnya menjadi negara maju dengan tingkat kesejahteraan penduduk yang tinggi. Tetapi yang terjadi saat ini Indonesia menjadi negara yang memiliki 1600 trilyun utang Luar Negeri dan 40% penduduknya masih berada di garis kemiskinan.




Kecenderungannya, penduduk miskin terus bertambah. Dari data BPS per maret 2010, Penduduk miskin di Jawa dan Bali mencapai 20,19 juta jiwa. Di Sumatera mencapai 14,4 juta jiwa. Di Sulawesi mencapai 2,61 juta jiwa dan Nusa Tenggara sebesar 2,17 juta jiwa. Sementara di Kalimantan sekitar 1,21 juta jiwa, di Papua sekitar 0,98 juta, dan di Maluku 0,49 juta jiwa. Di Papua, perbandingan jumlah penduduk miskin mencapai 36,1 persen, sedangkan di Nusa Tenggara sekitar 24,8 persen. Di Maluku, perbandingan jumlah penduduk miskin mencapai 20,5 persen, sedangkan di Sulawesi sekitar 17,6 persen. Di Sumatera angka itu mencapai 14,4 persen dan di Jawa-Bali mencapai 12,5 persen. ( BPS, dan berbagai Sumber)




Dalam 8 (delapan) tahun terakhir, sejak 2004 hingga 2012, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat setidaknya telah terjadi 618 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas 2.399.314,49 hektar, dimana ada lebih dari 731.342 kepala keluarga menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan.Pemilihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian/militer dalam penanganan konflik agrariayang melibatkan kelompok masyarakat petani dan komunitas adat telah mengakibatkan 941 orang ditahan, 396 mengalami luka-luka, 63 orang diantaranya mengalami luka serius akibat peluru aparat, serta meninggalnya 44 orang di wilayah-wilayah konflik tersebut dalam kurun waktu delapan tahun (Laporan Akhir Tahun 2012, KPA).




Konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia yang terakumulasi sejak lama, pecahnya konflik-konflik baru, jatuhnya korban nyawa petani, penangkapan dan kekerasan terhadap petani, serta maraknya keterlibatan militer dan kepolisian di lapangan konflik agraria menunjukkan bahwa tekanan dan perluasan kapitalisme terhadap penguasaan, pemilikan dan pengelolaan sumber-sumber agraria Indonesia semakin dilanggengkan oleh penguasa di negeri ini.




Pemerintah Indonesia dan DPR RI seolah tidak mengambil pelajaran dari berbagai konflik yang terjadi; seperti Kasus Mesuji-Lampung dan Sumatera Selatan, Kasus Senyerang-Jambi, Kasus Pulau Padang-Riau atau pun Kasus Bima, dan kasus-kasus lainnya yang menimbulkan banyak korban.




Melalui Siaran Pers ini, kami menyatakan sikap sebagai berikut :
1. Hentikan Kriminalisasi Petani yang tengah melakukan perjuangan menuntut haknya


2. Jalankan reforma agraria sejati


3. Mendukung sepenuhnya atas aksi long march petani Jambi dan Blitar ke Jakarta, dan menyerukan kepada seluruh kaum tani di Indonesia untuk melakuka aksi serupa menuntut hentikan kriminalisasi petani di lapangan dan menuntu dijalankannya agenda reforma agraria sejati




Aliansi Gerakan Kaum Tani untuk Reforma Agraria:


Serikat Petani Pasundan (SPP) - Serikat Tani Nasional (STN) - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) - Serikat Petani Indonesia (SPI) - Aliansi Petani Indonesia (API)- Solidaritas Perempuan (SP) - Sawit Watch (SW) - Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) - Institute for Global Justice (IGJ) - Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) - Serikat Petani Karawang (Sepetak) - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) - Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) - Koalisi Anti Utang (KAU) - KPRI - P3I - P3S KEPRI - Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) - Petani Mesuji, Lampung - Petani Tanjung Pinang, Kepulauan Riau - Serikat Tani Merdeka (SeTam) Cilacap - PMK HKBP Jakarta - PRD - PRP - RACA - Repdem - Serikat Hijau Indonesia (SHI) - Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) - SRMI - STI - SBTPI - TPRM Jember - FrontJak.

Eksekusi Lahan Ricuh, Jokowi: Penggusuran Pulogadung Bukan Perintahnya

SUARAAGRARIA.com, Jakarta:Pagi tadi (22/5), eksekusi lahan terjadi juga di Kampung Srikandi RT 07 RW 03, Jatinegara Kaum, Pulogadung, Jakarta Timur. Bentrokan sempat berlangsung, warga yang menolak penggusuran melakukan aksi rotes dengan menaiki alat berat yang hendak dipakai untuk mem"beko" pemukiman warga.




Bentrokan terjadi saat petugas gabungan satpol PP dan polisi hendak mencegah aksi warga itu. Walhasil kedua pihak Keduanya saling serang dan baku pukul. Petugas terpaksa menembakan gas air mata, untuk membubarkan warga yang beringas.




Sementara itu, Joko Widodo (Jokowi) mengaku tidak tahu menahu masalah eksekusi tersebut. "Enggak tahu, itu bukan wilayah kita," tutur Gubernur di Balaikota Jakarta (22/5).




Menurut Jokowi, eksekusi penggusuran itu merupakan putusan PN Jakarta Timur, bukan keputusan Pemprov DKI.




Mengenai keterlibatan Satpol PP dalam penggusuran yang bukan ranah Pemprov DKI, Jokowi mengatakan, seharusnya tidak ada Satpol PP yang menindak.




Namun, mantan Wali Kota Surakarta itu mengungkapkan, bukan tidak mungkin keterlibatan Satpol PP untuk membantu pihak kepolisian yang berjaga di sana.




"Saya selalu sampaikan kalau bukan wilayah kita, ya mestinya enggak ada personel Satpol PP," kata Jokowi.






Seperti diketahui, eksekusi tersebut merupakan buntut dari sengketa lahan antara PT. Buana Estate milik pengusaha Probosutejo warga Kampung Srikandi.




Tanah seluas 7 hektar yang diduduki warga selama puluhan tahun, diklaim milik PT. Buana Estate.




Tidak hanya Satpol PP saja yang ada disana, TNI dan Polisi juga ikut mengawal jalannya eksekusi.




Jadi kalau bukan Jokowi, lalu atas perintah siapa Satpol PP berada di sana?

Sengketa Lahan: Alam Sutera Klaim Miliki Kelengkapan Sertipikat Tanah

SUARAAGRARIA.com, Jakarta:Pihak perumahan Alam Sutera tegas-tegas membantah bahwa lahan seluas 2,3 Hektar di Kelurahan Pakualam, Kecamatan Serpong Utara, Kota Tangerang Selatan adalah milik keluarga Ronah. Alam Sutera mengklaim dilengkapi dengan bukti-bukti yang sah secara hukum.




Seperti dipaparkan Kuasa hukum perumahan Alam Sutera, Kamaruddin, kliennya membeli lahan yang disengketakan itu dari Djain Logo dan sudah disertipikatkan pada tahun 1984 silam.






"Sudah 30 tahun dikuasai, kenapa protes baru muncul sekarang?" ujarnya dengan nada heran (10/6).




Lanjutnya, kliennya mempersilahkan saja masalah ini dibawa ke meja pengadilan agar ke depan tidak terjadi lagi bentrokan antara keamanan Alam Sutera degan massa FPI (Front Pembela Islam).




Seperti diketahui masalah sengketa lahan ini melibatkan FPI. Bahkan pada hari Kamis lalu (6/6) terjadi bentrokan antara pihak keamanan pengembang dengan massa FPI yang membela Keluarga Ronah yang mengklaim memiliki lahan tersebut (Baca: Sengketa Lahan Alam Sutera: FPI Demo Polda Metro Jaya).




Berdasarkan informasi, Lahan Djain Lago memang bersebelahan dengan lahan keluarga Ronah. Pihak Alam Sutera mengatakan sertifikat tersebut tidak ada kaitan sama sekali dengan lahan keluarga Ronah.

Sengketa Lahan Dengan Podomoro, Warga Karawang Tutup Tol Jakarta-Cikampek

SUARAAGRARIA.com, Jakarta:Warga Karawang akhirnya hengkang juga dari jalan Tol Jakarta-Cikampek, setelah sebelumnya memblokade tol tersebut. Permasalahannya, warga protes soal sengketa lahan dengan PT Agung Podomoro Land (APL) yang sudah berlangsung 20 tahun lamanya.




"Kami minta maaf, karena kami memperjuangkan hak lahan kami yang 20 tahun silam dikuasai APL," teriak pengunjuk rasa.




BACA JUGA: Eva Sundari Minta Eksekusi Lahan Sengketa di Karawang Ditunda




Ratuan warga yang melakukan blokade berasal dari tiga desa di Kecamatan Teluk Jambe Barat, Karawang, tepatnya di KM 44, Kamis (11/7) siang dari pukul 09.10 WIB hingga 11.30 WIB.




Warga mengklaim tanah yang disengketakan di Teluk Jambe, Kerawang, Jawa Barat itu adalah milik mereka yang dikuasai APL. Warga tidak pernah menjual tanah tersebut kepada APL.






Jika APL merasa telah membeli dan memiliki surat tanah yang bersengketa itu, berarti surat itu palsu.




"Surat tersebut pernah dilaporkan ke Polda Jabar. Dirut perusahaan yang jual juga sudah jadi tersangka, tapi kasus ini tidak ada kejelasannya," ungkap Yono.




Selain sengketa lahan, warga juga menuntut sertifikasi tanah yang tak kunjung diselesaikan pihak BPN RI.




"Sudah puluhan tahun masyarakat tinggal di sana, namun urusan sertifikasi tanah belum diselesaikan oleh BPN RI," tutur koordinator lapangan demonstrasi, Yono Kamis (11/7).




Padahal lahan sudah puluhan tahun ditinggali warga, bahkan milik turun temurun dan terdaftar di buku C.




"Warga sudah bayar pajak tiap tahun, " terangnya. Untuk itu warga meminta permasalahan sengketa lahan dan sertifikat tanah diselesaikan dengan tuntas.






BACA BERITA SENGKETA LAHAN:
SPKA: Putusan MA Soal Sengketa Lahan KAI Menangkan PT. ACK Cacat Hukum


Sengketa Lahan: Alam Sutera Klaim Miliki Kelengkapan Sertipikat Tanah


Bulan Ramadhan Bawa Berkah, Sengketa Lahan Makam Mbah Priok Capai Kesepakatan


Warga Sumberklampok Buleleng Sambangi BPN RI Terkait Penetapan Tanah Terlantar

Eva Sundari Minta Eksekusi Lahan Sengketa di Karawang Ditunda

SUARAAGRARIAcom, Jakarta: Eva Kusuma Sundari meminta meminta aparat penegak hukum menunda eksekusi lahan sengketadi Desa Sirnabaya, Kecamatan Telukjambe, Kabupaten Karawang, sampai ada keputusan hukum dari Kejaksaan Tinggi Karawang.

BACA JUGA SOAL SENGKETA LAHAN di KARAWANG TERKINI: Sengketa Lahan Dengan Podomoro, Warga Karawang Tutup Tol Jakarta-Cikampek
Menurut anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan itu, kasus sengketa lahantersebut terlihat janggal. "Banyak sekali kejanggalan-kejanggalannya," tegas Eva usai menerima pengaduan warga di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu 19/12. Salah satu kejanggalan dimaksud adalah putusan Mahkamah Agung MA dibatalkan oleh keputusan MA juga.


Rabu, 12 Juni 2013

SUARAAGRARIA.com: Kapolri Singgung Konflik Agraria Pada Pelantikan 11 Kapolda Baru

SUARAAGRARIA.com, Jakarta:Kapolri Jenderal Timur Pradopo melakukan pelantikan terhadap 11 Kapolda baru. Dalam pelantikan ia berpesan salah satunya agar memperhatikan masalah perkebunan dan pertanahan.


Menurutnya, konflik-konflik sosial terkait perkebunan dan pertanahan harus diselesaikan. Penyelesaiannya perlu dikoordinasikan dengan instansi terkait. Sehingga tidak terus menjadi masalah pelanggaran hukum. Baca Juga: Sengketa Lahan Alam Sutera: FPI Demo Polda Metro Jaya, Inilah Daftar Calon Kapolri Baru, Kompolnas Akan Tatap Muka Dengan Mereka, AMAN: Jelang Pemilu, Konflik Agraria di Wilayah Adat Diprediksi Tinggi , Penangkapan Aktivis & Kriminalisasi Petani "Tutupi" Masalah Utama Konflik Agraria Cinta Manis , Henry Saragih Sesalkan Kekerasan Oknum Polisi Dalam Penanganan Konflik Agraria, Aktivis LSM & Akademisi Temui Wakapolri Bahas Cara Penanganan Konflik Agraria, Hendarman Supandji: Kasus Tanah Dapat Jadi Penghambat Program Pembangunan


Baca Selengkapnya: http://suaraagraria.com/detail-1065-kapolri-singgung-konflik-agraria-pada-pelantikan-11-kapolda-baru.html




Technorati : , ,

Del.icio.us : , ,

Zooomr : , ,

Flickr : , ,

Selasa, 11 Juni 2013

SUARAAGRARIA.com - Perusahaan Perkebunan Yang Terlibat Penyelewengan Pajak Harus Dicabut Izinnya

SUARAAGRARIAcom, Jakarta: Pemerintah harus bertindak tegas terhadap perusahaan perkebunan yang terlibat dengan kasus korupsi serta penipuan pajak. Hal ini demi memperbaiki sektor bisnis itu sendiri.


Hal tersebut disampaikan Wakil Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin baru-baru ini di Jakarta, Rabu (9/1).

Minggu, 05 Mei 2013

Sebagai Negara Bangsa Merdeka Berdasarkan Pancasila, Rakyatlah Pemilik Tanah, Bukan Negara - Bag 2

SUARAAGRARIAcom, Jakarta: Sebagai seorang mantan birokrat yang puluhan tahun telah malang melintang di Badan Pertanahan Nasional (BPN RI), Ir. Bambang Sulistyo widjanarko, MSP. mengaku sangat resah dengan permasalahan agraria negara kita yang menurutnya semakin jauh saja dari cita-cita UUD' 45.


Sabtu, 04 Mei 2013

Sebagai Negara Bangsa Merdeka Berdasarkan Pancasila, Rakyatlah Pemilik Tanah, Bukan Negara - Bag 1

SUARAAGRARIAcom, Jakarta: Sebagai seorang mantan birokrat yang puluhan tahun telah malang melintang di Badan Pertanahan Nasional (BPN RI), Ir. Bambang Sulistyo widjanarko, MSP. mengaku sangat resah dengan permasalahan agraria negara kita yang menurutnya semakin jauh saja dari cita-cita UUD' 45.


Jumat, 18 Januari 2013

Sengketa Lahan Berlarut, Polres Taput Lakukan Mediasi Warga Kecamatan Sipahutar

SUARAAGRARIAcom, Berita Pertanahan Dari Sumut: Apa yang dilakukan Kapolres Taput Sumatera Utara, AKBP IKG Wijatmika SIK, patut dicontoh Polres-polres lainnya. Agar ketegangan mencair, Wijatmika beserta jajaran terkait segera mengumpulkan pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa lahan di Kecamatan Sipahutar.

“Posisi saya adalah sebagai penengah dalam rangka mencari solusi terbaik sengketa tanah di wilayah Taput agar tidak terjadi konflik agraria berkepanjangan, sekaligus sebagai upaya preventif,” terang Wijatmika dalam sambutannya di Mapolres Taput, Senin (26/11).

Sengketa lahan di Kecamatan Sipahutar terjadi sejak tahun 2004 antara pihak PT. Toba Pulp Lestari (TPL) dengan dusun Aek Napa Desa Sabungan Nihuta II. Perusahan tersebut mengklaim telah memiliki ijin konsesi dari Menteri Kehutanan RI.

Hadir dalam mediasi sengketa tanah tersebut Kepala BPN Taput, Dinas Kehutanan diwakili Ir Alboin Butar-butar MH, Kapolsek Sipahutar Iptu E Nainggolan, Camat Marasuddin Silitonga dan pihak yang bersengketa yakni PT TPL diwakili humas Bahari Sibuea dan sejumlah masyarakat.

Wijatmika berharap kedua belah pihak yang bersengketa untuk tetap tenang, tidak mengedepankan emosi yang dapat merugikan kedua belah pihak, dan selalu mengupayakan win-win solution.

Salah satu warga yang hadir sangat berkeberatan dengan pembersihan yang dilakukan TPL, mengingat tanah yang disengketakan tersebut merupakan warisan milik nenek moyang mereka. Warga juga protes dengan TPL karena aktivitas perusahaan tersebut ternyata merusak lingkungan, dan mencemari sumber air minum.

Sementara itu Humas TPL mengaku telah mengantongi ijin konsesi khusus sektor Habinsaran sekitar 24 ribu Hektar, termasuk Desa Tapaun Nauli III, Desa Sabungan Nihuta IV dan Desa Parlombuan.

Untuk itu menurut Humas TPL perusahaan tetap akan melakukan pekerjaannya, karena sudah memiliki izin sehingga tidak melanggar hukum. Tanah yang disengketakan warga sah dan bisa diolah perusahaan.

Akhirnya proses mediasi menghasilkan kesepakatan sementara, dimana pihak perusahaan diminta untuk menetapkan areal kerja dan tata batas lahan konsesi. Sementara penetapan belum keluar, warga diizinkan mencari nafkah di lahan yang disengketakan. Syaratnya, warga tidak melakukan penebangan pohon yang telah ditanami perusahaan.

(gor)

sumber/
source:

suaraagraria.com

Sengketa Lahan SMP PGRI 1 Kedungsalam, Siswa Terpaksa Hengkang

SUARAAGRARIAcom, Sengketa Tanah di Malang: Dunia pendidikan nasional kembali dirundung duka. Sengketa lahan antara SMP PGRI 1 Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang dengan pihak ahli waris keluarga, putra dari Krijomedjo. belum ada solusi. Lagi, peserta didik kembali jadi korban, mereka mau tak mau terpaksa  pindah tempat (24/10/2012).

Menurut salah satu staf sekolah tersebut yang enggan disebutkan namanya, proses pemindahan sebenarnya dilakukan sejak tanggal 23/10/2012 malam. Barang-barang yang dipindahkan adalah bangku, papan tulis, dan beberapa fasilitas belajar lainnya.

Sengketa Lahan Korbankan Siswa
Pihak sekolah memutuskan pindah karena belum ada titik terang tentang masalah sengketa lahan ini dengan pihak ahli waris. “Padahal kondisi ruangan di tempat yang baru belum layak untuk dipakai dalam proses belajar mengajar,” keluhnya.

Menanggapi kepindahan ini, Pihak Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan PGRI Kabupaten Malang, mengaku tak bisa berbuat banyak. Keputusan untuk pindah lebih karena agar proses belajar mengajar tetap berlangsung. “Jangan sampai peserta didik dirugikan karena sengketa tanah ini,” tutur salah satu pengurus.

Sebelumnya, pihak ahli waris menyegel SMP PGRI 1 Kedungsalam. Akibatnya kegiatan belajar mengajar  90 siswa dilaksanakan di tengah sawah dengan beralaskan tikar. Yayasan mengaku tidak sanggup mengganti biaya, karena sama sekali tak memiliki dana. Sementara ahli waris tetap meminta ganti rugi Rp. 1 miliar, ini artinya sengketa tanah tersebut belum ada titik terang.

Ahli Waris Minta Ganti Rugi Tanah Yang Disengketakan
“Ahli waris memiliki petok D, dan minta ganti rugi penggunaan lahan yang disengketakan yang sudah berpuluhan tahun lamanya,” terang Slamet Efendi, selaku penasehat hukum.

Lanjutnya, tanah bersengketa seluas 1.800 meter persegi ini adalah milik almarhum Krijomedjo, ayah dari Suparno. Ceritanya, pada 1968 ABRI meminjam tanah Krijomedjo untuk digunakan sebagai barak militer selama dua tahun.

Selanjutnya lahan bersengketa ini kemudian digunakan untuk proses belajar mengajar bagi warga sekitar. Sampai saat ini, pihak ahli waris mengklaim tidak pernah mendapatkan ganti rugi lahan. “44 tahun tanah itu ditempati tanpa ganti rugi,” tukas Slamet.

Katanya lagi, jika pemerintah ingin gedung tersebut tetap beridiri di atas lahan yang disengketakan itu, pihak ahli waris mempersilahkan membeli atau menukar guling dengan lahan lainnya. “Kami sebenarnya prihatin dengan para siswa, kenapa mereka jadi korban, pemerintah harus menyelesaikan kasus ini dengan adil,” harap Slamet.

Sementara itu, kepindahan para siswa SMP tersebut mendapat simpati masyarakat setempat. Masyarakat bergotong royong membantu mempersiapkan ruang belajar di tempat yang baru yakni di kompleks TK Dharma Wanita 3, masih di Kedungsalam.

Jadi, mau sampai kapan pendidikan kita dan pelajar - pelajar kita dikorbankan akibat sengketa tanah?

(bam)

sumber/
source:

suaraagraria.com

Effendy Naibaho: Ribuan Sengketa Lahan Gambarkan Ketidakseriusan BPN & Pemprov Sumut

SUARAAGRARIA.com, Medan: 2.833 kasus sengketa tanah di Sumatera Utara (Sumut)  belum ada satu pun yang terselesaikan. Hal tersebut menggambarkan ketidakseriusan Pemerintah Sumut dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam hal penuntasan sengketa lahan.

Demikian diungkapkan Direktur Benny Pasaribu Center, Efendy Naibaho, kepada wartawan, Selasa (2/10) lalu. Permasalahan sengketa tanah di Sumut sepertinya sangat sulit dituntaskan. Padahal jika tidak diselesaikan maka akan banyak korban dan mengganggu keamanan daerah.

“Dibutuhkan good will and political will dalam menyelesaikan sengketa tanah,” tegas Mantan politisi Fraksi PDI Perjuangan ini. Good will dan political will belum dimiliki pimpinan di Pemprov Sumut.

“Jadi harus ada pemimpin yang berkarakter kuat yang mau turun ke bawah dan menyentuh permasalahan masyarakat sampai ke tingkat paling rendah,” tuturnya.

Ia kemudian menunjuk Dr. Ir. Benny Pasaribu MEc, sebagai seorang pemimpin berkarakter yang ia sebutkan tadi.

“Beliau adalah putra daerah, teknokrat, akademisi, juga lanjutnya, komisioner KPPU Pusat, maka sangat berpengalaman dan sanggup membenahi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sumut,” terangnya.

Dan yang terpenting lagi, katanya, Benny Pasaribu dinilai mampu memberikan garansi penuh, akan adanya penyelesaian sengketa pertanahan di Sumut, dan memberikan yang terbaik bagi masyarakat Sumut.

(tag)

sumber/
source:

suaraagraria.com

Cegah Konflik Lahan: Pemkab Mukomuko Usul Dirikan Gedung Keserasian Sosial

SUARAAGRARIA.com, Bengkulu: Pemerintah Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu mengusulkan kepada Kementerian Sosial untuk membangun gedung keserasian sosial di perbatasan Bengkulu dengan Sumatera Barat. Hal ini dimaksud agar menghindari konflik di perbatasan terkait persoalan pertanahan dan lahan garapan.

Demikian diungkapkan Kepala Bidang Sosial Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Mukomuko, Suyoso, di Mukomuko, Minggu. Gedung keserasian social nantinya termasuk rumah ibadah di perbatasan Bengkulu dengan Sumatera Barat.

"Pembangunan gedung tersebut agar bisa dimanfaatkan bersama oleh dua warga di wilayah yang berbeda sehingga terjalin hubungan komunikasi yang baik," terang Suyoso.

Menurutnya,  perbatasan Bengkulu dengan Sumatera Barat merupakan salah satu potensi konflik sosial di Kabupaten Mukomuko.  Apalagi saat ini persoalan yang mengemuka saat ini di sana menyangkut  masalah pertanahan dan lahan garapan.

Dengan adanya fasilitas umum tersebut diharapkan akan membangun komunikasi yang sehat bagi dua pihak warga di perbatasan. "Misalnya, kalau saling bertemu setiap hari di masjid, kecil kemungkinan akan ribut,” paparnya.

"Rencana ini akan kita teruskan kepada Kementerian Sosial," ujarnya.

sumber/
source:

suaraagraria.com

Sengketa Tanah Wakaf: Ratusan Siswa Madrasah Al-Iman Demo di Pengadilan

SUARAAGRARIA.com, Magelang: Ratusan pelajar dari Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Al-Iman berunjuk rasa di depan gedung Pengadilan Negeri Kota Magelang, Jawa Tengah (15/10). Unjuk rasa dilakukan demi mempertahankan keberadaan lahan sekolah tersebut.

Para siswa yang berdemo dengan tertib mendukung yayasan sebagai pihak penggugat dalam sidang tersebut. Mereka memprotes pihak-pihak yang mengaku sebagai ahli waris tanah sekolah tersebut.

Pihak Yayasan Al-Iman bersikeras mempertahankan tanah wakaf yang bersengketa itu sampai keluarnya keputusan hukum.

Pihak tergugat sendiri mengaku memiliki sertifikat yang sah atas tanah yang ditempati Al-Iman saat ini.

Sementara itu dalam persidangan, Majelis Hakim yang diketuai Yulman tidak bersedia menangani kasus ini, mengingat pihaknya tidak berwenang. Seharusnya masalah ini ditangani Pengadilan agama sesuai Undang-undang  Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

(don)

sumber/
source:

suaraagraria.com

Konflik Lahan: Warga Desa Sukodadi & Sukarejo Tagih Janji Gubernur Alex Nurdin

SUARAAGRARIA.com, Palembang: Sengketa lahan antara warga desa Sukodadi dan Sukarejo, Kecamatan Sukarame, dengan TNI AU semakin memanas saja. Kedua pihak warga desa tersebut  menagih janji Gubernur Sumatera Selatan, Alex Nurdin, yang sebelumnya mengatakan akan melakukan mediasi.

“Kami menunggu janji Gubernur yang katanya akan melakukan mediasi,” kata seorang warga yang enggan disebutkan namanya.

Menurutnya, warga bersepakat tetap bertahan dengan tanpa perlawanan, sampai ada kesepakatan antara warga dan TNI AU yang difasilitasi Alex Noerdin.

Jelasnya, saat ini sebanyak 95 kepala keluarga menetap di RT 31 dan 27  di lahan seluas 150 hektare.  Sebelumnya lima rumah telah dibongkar oleh pihak TNI AU kemarin (__). Pemilik rumah dan warga tidak melakukan perlawanan.

Lanjutnya, warga sangat resah dengan aktivitas perobohan tanaman dan pembakaran di sekitar pemukiman yang diduga dilakukan oknum anggota TNI AU.  Kegiatan tersebut menurut warga dikhawartirkan akan berlanjut dengan penggusuran secara tiba-tiba.

Tidak hanya itu, jalanan diblokir dengan dua pohon besar, sumur warga ditutup secara sepihak.  Tentu saja hal tersebut berpengaruh pada kondisi psikologis warga yang terus memburuk. Warga merasa terintimidasi dengan kegiatan tentara tersebut.

Menurutnya masalah ini sudah laporkan langsung kepada Komisi III DPR. Gayung bersambut, salah satu anggota legislatif, Ahmad Yani, akan meninjau langsung lokasi sengketa tanah hari ini.

(ris)

sumber/
source:

suaraagraria.com

Hindari Bentrok, Pemprov Kalsel Akan Ambil Alih Lahan Tapal Batas Nateh-Campan

SUARAAGRARIA.com, Banjarmasin: Ketegangan antara warga desa Nateh dan Campan yang terjadi di Nateh wilayah Hulu Sungai Tengah (HST) dan Campan wilayah Balangan membuat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Selatan (Kalsel) turun tangan.

Demikian menurut Gubernur Kalsel Rudy Ariffin. Rudy mengungkapkan sebenarnya  permasalahan ini memang akan diserahkan ke Provinsi. Namun kedua daerah lebih memilih berdialog. Namun dalam pertemuan itu kedua pihak warga desa malah hampir bentrok.

Menurut Gubernur, ia telah menyuruh dinas terkait untuk mempertemukan Pemkab Balangan dan HST untuk mencari solusi. Salah satunya dengan pemeriksaan ulang terhadap tapal batas kedua daerah.

Sementara itu Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Pemprov Kalsel Hermansyah meminta kedua pihak warga desa untuk mau menahan diri.

Lanjutnya, pihaknya pasti akan membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. “Hindari kekerasan dan jangan mau diprovokasi,” himbaunya kepada warga.

Menurut Herman, pihaknya segera akan menggelar mediasi untuk mencari solusi yang terbaik untuk menghindari kekerasan.

sumber/
source:

suaraagraria.com

Pembangunan Tol Cijago II Terhambat Negoisasi Lahan Warga Kukusan

SUARAAGRARIA.com, Kukusan: Belum adanya kesepakatan harga pembebasan lahan antara warga Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji dengan tim appraisal, membuat pembangunan jalan Tol Cinere-Ja¬gorawi (Cijago) tahap II terhambat.

Warga merasa berkeberatan dengan harga ganti rugi tanah yang ditetapkan tim appraisal. Warga menganggap tim appraisal seharusnya bukan menerapkan ganti rugi, tapi harus ganti untung.

Menurut salah seorang warga, Syamsudin, pihak warga telah melaporkan molornya proses negoisasi harga lahan milik warga Kukusan ke Ombudsman Republik Indonesia.  “Pihak TPT, P2T, dan Pemkot Depok, kami adukan karena tidak transparan dalam memaparkan proses pembebasan lahan, terutama yang terkait taksiran harga ganti rugi yang riil,” katanya.

Menurutnya, pihak Ombudsman sendiri berjanji segera akan memanggil pihak TPT, P2T, dan Walikota Depok.

Tambahnya lagi, warga Kukusan yang terkena proyek tol Cijago tahap II mematok harga lahannya dengan kisaran Rp.6.500.000 per meter (zona satu), Rp.5.800.000 (zona dua), Rp.5.300.000 (zona tiga), Rp.4.800.000 (zona empat), Rp.4.300.000 (zona lima), dan Rp.3.800.000 (zona enam).

Harga tersebut mengacu pada kelipatan nilai jual obyek pajak (NJOP), dan harga pasaran tanah di wilayah tersebut, dan telah memperhitungnya dengan mengedepankan azas keadilan. Harga tersebut sejak dua bulan lalu sudah disampaikan kepada P2T dan TPT, namun belum ada jawaban.

“Warga telah berkorban dengan bersedia menjual tanah kami, ini karena demi kepentingan umum, sayangnya nilai yang ditawarkan TPT terlalu murah,” tegas Syamsudin.

sumber/
source:

suaraagraria.com

Sengketa Pertanahan di Batam Bisa Meledak Sewaktu-waktu

SUARAAGRARIA.com, Batam: Bentrokan berdarah akibat sengketa lahan Batu Ampar di sekitar Hotel Planet Holiday Juni lalu menimbulkan keprihatinan mendalam. Bentrokan tersebut menunjukkan bahwa permasalahan pertanahan di Batam dapat meledak sewaktu-waktu.

Demikian Anggota Komnas HAM RI, Jhoni Nelsen Simanjuntak kepada pers baru-baru ini. "Ibarat bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu jika tidak ditangani serius," tegasnya.

Untuk itu Badan Pengusahaan (BP) Batam dan juga Pemko Batam diminta memberikan perhatian yang serius terhadap masalah pertanahan di daerah kerjanya. Tidak mustahil akan banyak terjadi kekerasan akibat persoalan lahan.

Menurutnya, sengketa lahan muncul karena tumpang tindih hak pengelolaan. Ia kemudian menunjuk kasus Hotel Planet,  Jasirullah dengan PT Batam Island Marine (BIM) di Pulau Manis dan lain-laihn yang disinyalir memiliki sertifikat tanah lebih dari satu.

Sengketa lahan sering berujung pada bentrok fisik, dan sangat rawan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Makanya penataan pertanahan yang benar di Batam urgen dilakukan.


sumber/
source:

suaraagraria.com

Sengketa Lahan di Mesuji: Tim Terpadu Lakukan Pengukuran Lewat Udara

SUARAAGRARIA.com, OKI: Tim terpadu yang terdiri dari Pemda dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Kabupaten Okan Komering Ilir (OKI) berencana akan melakukan pengukuran lahan sawit yang disengketakan di Desa Sungai Sodong Kecamatan Mesuji, besok (Selasa, 18/9/2012). Langkah ini diharapkan dapat menyelesaikan sengketa di Mesuji.

Hal tersebut dibenarkan Ketua Tim Terpadu penyelesaian sengketa lahan, Engga Dewa Zainal. Menurut Engga, yang juga menjabat sebagai Wakil Bupati OKI, pihaknya sudah melakukan sosialisasi terpadu kepada dua pihak bersengketa, yakni masyarakat dan perusahaan.

“Sosialisasi dipimpin oleh asisten I Setda OKI, Anthonius Leonardo, di Desa Sungai Sodong Kecamatan Mesuji. Hasilnya masyarakat mendukung pengukuran ulang sengketa lahan sawit, baik itu Plasma maupun yang masuk dalam HGU,” ujarnya, Minggu (16/9/2012).

Lanjutnya, pengukuran udara dilakukan untuk lahan plasma seluas 1.068 hektar (ha) dengan 534 SKT dan lahan seluas 298 ha yang masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU). “Akan dilacak titik koordinat sebagai titik luas kebun sawit,” terangnya.

Nantinya setelah pengukuran, tim terpadu akan memetakan kembali lahan yang disengketakan itu. Hasil pemetaan kemudian diharapkan dapat menyamakan persepsi antara perusahaan dan masyarakat, untuk selanjutnya akan dijadikan bahan dalam musyawarah ganti rugi lahan dan lain-lainya.

Seperti diketahui sengketa lahan kelapa sawit di Desa Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir menimbulkan bentrokan pada bulan April  2011. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menetapkan status QUO lahan tersebut. Baik masyarakat maupun perusahaan tidak boleh memanen buah kelapa sawit. 

sumber/
source:

suaraagraria.com

Liput Sengketa Tanah: Lagi, Wartawan Jadi Korban Kekerasan

SUARAAGRARIA.com, Blitar: Penganiayaan terhadap wartawan nampaknya belum akan berakhir di bumi tercinta ini. Dua wartawan televisi lokal di Kabupaten Blitar menjadi korban penganiayaan oleh massa saat meliput sengketa tanah di perkebunan Swaru Buluroto Desa Karangrejo, Kecamatan Garum, Blitar.

Dua jurnalis yang diketahui menjadi korban kekerasan adalah Faizin alias Wiro (39) jurnalis Rtv dan Khoirul Hadi (37) jurnalis Surabaya TV.

Akibat penganiayaan itu, Wiro mengalami luka serius berupa benjol belakang kepala dan dada kanan memar. Diduga luka itu akibat tendangan dan pukulan benda tumpul. Sedangkan Khoirul tidak mengalami luka serius, karena sempat melarikan diri bersama 5 jurnalis lainnya.

Berdasarkan informasi, kejadian berawal saat dua korban bersama 4 jurnalis tv lainnya berniat meliput buntut sengketa lahan eks perkebunan swarubuluroto, Selasa (28/8/2012) siang.

Naas bagi mereka saat mereka sedang meliput tiba-tiba ada yang tidak terima dengan kehadiran wartawan dan memprovokasi warga. Kedua korban lantas dihajar massa, sementara lainnya berhasil melarikan diri.

Kedua korban langsung dilarikan ke RSUD Ngudi Waluyo. Setelah itu langsung melaporkan kekerasan yang dialaminya ke Polres Blitar bersama belasan jurnalis Blitar dan Kediri.

sumber/
source:

suaraagraria.com

Jokowi: Sengketa Tanah Harus Diselesaikan Dengan Win-win Solution

SUARAAGRARIA.com, Jakarta: Calon Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) berjanji akan menyelesaikan konflik lahan dengan semangat win-win solution. Banyak cara untuk menyelesaikan konflik tanah dengan damai.

Demikian diungkapkan Jokowi di kantor Sekretariat Tim Kampanye Jokowi-Basuki, Jalan Borobudur No. 22 Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu lalu (25/8/2012).

Menurutnya sengketa lahan harus diselesaikan dengan cara-cara yang solutif. Banyak cara, misal jika tanah negara maka bisa diberikan kepada warga dengan syarat mau diatur dan ditertibkan.

Cara lainnya, dengan berdialog, dengan demikian aspirasi masyarakat bisa ditampung sekaligus win win solution bisa dicapai di antara kedua belah pihak.

Jokowi berkeyakinan pengalamannya telah membuktikan bahwa dialog bisa menyelesaikan masalah. "Tidak sekali dua kali saya menyelesaikan seperti itu," tegasnya yakin.

(gor/ed.olo)

sumber/
source:

suaraagraria.com

Sengketa Ogan Ilir: Komnas HAM Menduga Ada Pelanggaran HAM

SUARAAGRARIAcom, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akhirnya merilis hasil penyelidikannya atas kasus penembakan warga di Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan beberapa waktu lalu (27 Juli 2012).  Menurut lembaga kemanusiaan tersebut polisi diduga melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) dalam peristiwa tersebut.

Demikian disampaikan Ketua tim penyelidikan, Nur Kholis kepada wartawan di kantornya.  Nur menerangkan setidaknya ada lima pelanggaran terhadap hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup, hak untuk tidak mendapat perlakuan yang kejam, hak atas rasa aman, hak anak dan hak atas kesehatan. Komnas HAM, kata Nur Kholis, juga telah menemukan satu peluru tajam dan selongsong milik anggota Brimob.

Sengketa ini merupakan rentetan perselisihan lahan antara warga dan PT Perkebunan Nusantara VII, Cinta Manis. Perusahaan tebu itu ketika itu mengklaim telah kehilangan 127 ton pupuk. Perusahaan kemudian melaporkan hal tersebut kepada polisi dan menduga masyarakat setempat yang mengambilnya.

Ketika itu sebanyak 300 aparat melakukan operasi penegakan hukum di desa itu untuk mencari pelaku pencurian pupuk. Polisi menurut Nur bertindak over acting. Oknum anggota Brimob mengeluarkan tembakan peringatan empat kali dilanjutkan dengan tembakan beruntun dan diduga menganiaya lima warga di Simpang Empat.

Menurut N ur, konflik agraria antara warga dengan PT Perkebunan Nusantara VII Unit Cinta Manis sesungguhnya telah terjadi sejak 1982.

Pada tahun 2009 bentrok polisi dan masyarakat terkait dengan sengketa lahan di wilayah tersebut terjadi pertama kali. Dalam kejadian itu beberapa warga mengalami luka tembak.

Komnas HAM kemudian menemukan satu buah magazine (tempat peluru), 12 peluru tajam dan delapan selongsong peluru dalam peristiwa tersebut.

Polisi, menurut Kholis, sudah terlalu jauh masuk dalam sengketa agraria. Seharusnya yang lebih berperan dalam hal ini adalah Bupati, karena dia lah yang lebih mengenal warganya. Dengan demikian dialog seharusnya lebih diutamakan.


sumber/
source:

suaraagraria.com

BPN Sengketa Tanah Di Mukomuko Diselesaikan Dengan Damai

SUARAAGRARIA.com, Bengkulu: Ketika daerah lain sengketa tanah berujung pada kekerasaan atau pengadilan, hal itu tidak terjadi di wilayah kerja Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu.  BPN Mukomuko berjanji akan terus mengutamakan proses damai dalam penyelesaikan sengketa pertanahan di Bengkulu, khususnya wilah kerjanya.

Demikian ditegaskan Kepala Kantor BPN Mukomuko, Horrison Napitupulu, di Mukomuko, Jumat.
"Kami usahakan penyelesaian kasus sengketa di Mukomuko jangan sampai masuk ke pengadilan, apalagi dengan jalur kekerasan, kami utamakan dengan proses damai," tegasnya.

Ketika ditanya contohnya, ia kemudian menunjuk salah satu penyelesaian sengketa tanah 27 warga dengan satuan permukiman (SP) VII Desa Rawa Mulya yang mengklaim memiliki lahan seluas 50 hektare di kebun seorang pengusaha. “Diupayakan dengan jalan damai saja,” tukasnya.

Menurutnya sengketa tersebut sudah lama terjadi. Saat ini lahan tersebut ditanami kebun sawit. Dalam sengketa ini pihak BPN Mukomuko telah memberikan masukan kepada kedua belah pihak. “Syukurlah kedua pihak bersengketa sedang membahas untuk menyapai kesepakatan damai," ujarnya.

Namun ia tidak menampik ada sengketa yang telah masuk ke proses pengadilan. Ia kemudian mencontohkan sengketa tanah hak guna usaha PT PD Pati dengan warga yang kini sedang dalam proses hukum.

Yang terpenting kami sebagai pihak yang menengahi memberikan masukan positif bagi kedua belah pihak bersengketa, dan mendorong agar terselesaikan dengan cara damai dan tanpa anarkisme,” tegasnya.


sumber/
source:

suaraagraria.com

WALHI: Penyelesaian Sengketa Tanah Pascapenembakan di Ogan Ilir Berjalan di Tempat

SUARAAGRARIA.com , Palembang: Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menyesalkan terhentinya penyelesaian sengketa lahan di Ogan Ilir antara PTPN VII Cinta Manis dengan masyarakat dari 21 desa di kabupaten itu pasca penembakan yang menimbulkan korban luka dan tewas.

Menurut Anwar Sadat, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan (Sumsel), masyarakat belum berani mengajukan tuntutan mereka kembali, karena saat ini warga tak bebas menyelenggarakan pertemuan untuk membahas tuntutan lahan tersebut.

"Warga masih trauma setiap kali ada pertemuan, karea kehadiran polisi. Meski baik-baik caranya, tapi warga nampaknya trauma," katanya di Palembang, Sumsel, Kamis (9/8/2012).

Sebaliknya, pihak PTPN VII Cinta Manis telah beroperasi secara penuh. Penggarapan lahan berlangsung di seluruh lokasi dengan kawalan pihak kepolisian.

Namun sebagian lahan sempat tak ditanami perusahaan karena bersengketa dengan kelompok masyarakat Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB). GPPB mengklaim 15.000 hektar lahan PTPN VII Cinta Manis. Menurut mereka mengatakan lahan tersebut dulu dirampas pada zaman Orde Baru sekitar.

sumber/
source:

suaraagraria.com

Walhi: Sengketa Agraria Berdarah, Reformasi Agraria Tak Bisa Ditawar

SUARAAGRARIA.com, Jakarta - Tewasnya seorang anak kecil, Angga bin Darmawan (12 tahun), dan jatuhnya beberapa korban luka asal Desa Limbang Jaya, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir di tangan Brimob Polda Sumatera Selatan (Sumsel) mencerminkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya.

Beberapa korban luka hingga saat ini masih dirawat. Korban luka dan tewas diduga kuat adalah akibat serangan Brimob yang merangsek masuk ke dalam pemukiman warga.

“Setiap konflik agraria selalu disertai pelanggaran HAM, terutama terhadap kaum tani. Petani selalu ditempatkan sebagai pihak yang salah dan kalah. Sebaliknya, aparatur negara  justru berada di posisi yang berlawanan dengan rakyat. Mereka menjadi pelindung dan penjaga para pemilik modal. Pemerintah juga tidak melakukan upaya secara adil dan beradab dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan petani tersebut,” demikian bunyi siaran pers Walhi baru-baru ini.

Pemerintah Tak Netral Tangani Sengketa Agraria

Walhi kemudian mempertanyakan netralitas pemerintah dalam menyelesaikan sengketa agraria. Karena alasan menyelesaikan konflik agraria antara petani dengan PTPN VII, Pasukan Brimob tidak semestinya mengeluarkan tembakan secara sembarangan yang berakibat korban tewas dan luka.

Tidak hanya itu, Walhi juga memprotes kebijakan polisi yang tetap saja menempatkan aparat Brimob di lapangan. Seperti diketahui Polda Sumsel mengeluarkan kebijakan tidak akan menarik pasukan dan justru akan menambah pasukan. “Menunjukkan arogansi kepolisian dan hilangnya netralitas polisi dalam menjaga ketertiban, serta semakin memperkeruh suasana di lapangan,” tegas Walhi.

Jika penempatan pasukan bertujuan untuk pengamanan aset negara, justru patut dipertanyakan. Karena lebih dari 20.000 Ha tanah yang diklaim milik PTPN VII justru tidak memilik Hak Guna Usaha. Artinya lebih dari 30 tahun PTPN VII mengoperasikan tanahnya secara ilegal. Berdasarkan surat keterangan Badan Pertanahan Nasional, tanah PTPN VII yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) hanya 6.512,423 Ha.

Dengan demikian Walhi menegaskan bahwa kejadian berdarah ini bukanlah bentrokan antara petani (baca: warga) dengan aparat. Hal ini penting mengingat lokasi penembakan terjadi berada di pertengahan pemukiman penduduk, kurang lebih 10 Km dari lokasi pabrik PTPN VII Unit Usaha Cinta Manis.

Walhi juga mengungkapkan bahwa sesungguhnya para petani berniat menyelesaikan sengketa agraria dengan jalan damai. Sebab pada 16 Juli 2012, perwakilan petani Ogan Ilir telah mendatangi Mabes Polri, BPN, dan Kementerian BUMN. Sayangnya tidak ada solusi kongkrit dalam menyelesaikan sengketa agraria dimaksud.

Solusi Sengketa Agraria Dengan Kekerasan Bukan Kali Ini Saja

Walhi mengungkapkan beberapa data yang menunjukkan bagaimana penyelesaian sengketa agraria dengan cara-cara anarkis. Dalam bulan ini. 17 Juli 2012, Polres Ogan Ilir Sumsel telah menangkap 12 orang terkait konflik dengan PTPN VII, termasuk satu kejadian dimana ibu dan anaknya yang masih berumur 1,5 tahun dibawa ke Polres Ogan Iir.

Keesokannya, 18 Juli 2012, terjadi konflik pertambangan dengan PT. CMA di Donggala, Sulawesi Tengah yang mengakibatkan 19 orang ditangkap, 4 tertembak dan 1 orang (atas nama Masdudin) meninggal dunia di RS Palu akibat luka tembak serius.

Pada 23 juli, dua orang petani anggota SPI Jambi ditangkap pada saat menghadiri undangan dari Dinas Kehutanan Kabupaten Batanghari dalam diskusi rangka penyelesaian konflik antara petani dengan PT. REKI.

Tindakan aparat tersebut jelas telah melanggar Undang-Undang Republik Indonesia No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 2, yaitu tidak boleh seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. Tindakan kekerasan dan penembakan oleh aparat brimob jelas merupakan tindakan yang brutal dan melanggar hak masyarakat yang dijamin dalam Konstitusi Republik Indonesia UUD 1945 Bab XA.

Walhi juga sangat menyayangkan sikap kepolisian yang tidak mampu bersikap mandiri dan diduga memihak kepada golongan pemodal. Apalagi selama ini, dalam kasus sengketa lahan dengan perusahaan, petani selalu berada dalam posisi rentan, secara sosial, ekonomis dan politis. Untuk itu, polisi diharapkan lebih proaktif dan mendalam saat menangani kasus sengketa lahan tersebut.

Secara khusus Walhi Berikut bunyi lima tuntutan Walhi dan Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia:
1.Tragedi Limbang Jaya berdarah ini bukanlah bentrokan antara warga (yang mayoritas petani) dan aparat Brimob Polda Sumsel, melainkan serangan langsung kepolisian terhadap masyarakat yang seharusnya mereka lindungi.
2.Presiden SBY untuk memerintahkan Kapolri dan juga TNI untuk menarik seluruh pasukannya dari wilayah konflik agraria.
3.Pihak kepolisian agar mampu bersikap mandiri dan tidak memihak kepada golongan pemodal, sesuai dengan visi dan misi Polri. Hal ini penting untuk menghentikan kekerasan dan kriminalisasi petani.
4.Penghentian segala bentuk perampasan tanah rakyat dan mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dirampas.
5.Sekarang juga dilaksanakan pembaruan agraria sejati sesuai, berpedoman kepada UUD  1945 dan UUPA No.5 /1960.

sumber/
source:

suaraagraria.com

Sengketa Agraria, Rekomendasi Komnas HAM Tak Digubris

SUARAAGRARIA.com, Jakarta - Peristiwa bentrok yang marak terjadi belakangan ini disebabkan oleh sikap pemerintah dan kepolisian yang tidak pernah menanggapi rekomendasi Komnas HAM tentang cara penanganan konflik agraria.

Rekomendasi dimaksud adalah penarikan pasukan Brimob dari lokasi perkebunan-perkebunan yang menjadi medan konflik agraria, termasuk beberapa kecamatan di Ogan Ilir, Sumsel, di lokasi PTPN VII Unit Cinta Manis.

Demikian ditegaskan Komisioner Komnas HAM Ridha Saleh kepada wartawan di Jakarta, Minggu,

Ridha berpendapat sudah waktunya pemerintah dan kepolisian segera mengevaluasi manajemen penanganan agraria selama ini. Salah satu yang penting adalah segera menarik pasukan Brimob dan menghentikan segala bentuk tindakan represif dalam penyelesaian konflik agraria. “Harus lebih mengedepankan upaya dialogis,” tegasnya.


sumber/
source:

suaraagraria.com

Kematian Angga: Profesionalisme Polisi Sedang Diuji

SUARAAGRARIA.com, Sulsel - Korban meninggal Angga menimbulkan banyak keprihatinan wakil rakyat. Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, menyayangkan jatuhnya korban jiwa akibat bentrok yang terjadi antara pihak aparat kepolisian dengan petani di Desa Limbang Jaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan.

" Ini menjadi pembelajaran, kalau korbannya itu orang yang tidak bersalah, ini menjadi ujian profesionalitas aparat kepolisian," jelasnya kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Senin (30/07/2012).

Pramono berharap dibentuknya tim investigasi dari Komnas HAM, internal kepolisian, dan pemerintah daerah sehingga bisa ditemukan akar permasalahan insiden tersebut. Terus ada hukuman setimpal bagi pihak bersalah.

Tambahnya lagi, peristiwa tersebut menunjukkan bahwa penanganan konflik maupun kebijakan mengenai agraria kurang berjalan secara dinamis di Indonesia.

Seperti diketahui pada Jumat 27 Juli lalu terjadi bentrok antara warga dengan polisi di Desa Limbung Jaya. Dalam insiden ini, Angga Darmawan (12), tewas diduga akibat tertembak di kepala saat lari keluar dari game centre karena mendengar suara keributan.

sumber/
source:

suaraagraria.com

Nudirman Munir: Sengketa Pertanahan, Pemerintah Harus Berpihak Rakyat

SUARAAGRARIA.com, Jakarta - Jatuhnya korban tewas dan luka akibat sengketa pertanahan yang marak belakangan ini memunculkan keperihatinan yang mendalam. Menyikapi hal tersebut anggota Komisi III dari Fraksi Golkar, Nudirman Munir, berharap pemerintah selalu pro rakyat kecil dalam menyelesaikan sengketa.

"Hal ini saya permasalahkan, kenapa rakyat selalu jadi korban. Saya sudah sampaikan berkali-kali kepada Pak Kapolri, tidak adanya keberpihakan pemerintah kepada rakyat, sehingga yang jadi korban selalu rakyat," tukas Nudirman di Jakarta, Senin (30/7/2012).

Nudirman yakin jika pemerintah berpihak kepada rakyat, maka pasti ada solusinya. Tapi ini justru rakyat selalu ditaruh di pihak yang salah. Padahal keinginan rakyat sederhana, bisa makan dan bisa hidup sejahtera.

Nudirman menunjuk bentrok warga dengan PTPN VII Cinta Manis dan kasus terminal bayangan di Jalan Tol Jati Bening, Bekasi. Di situ padahal rakyat hanya berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Kenapa harus berhadapan dengan aparat ?” katanya.

"Tindakan kekerasan polisi terhadap rakyat, itu menunjukkan pemerintah mengorbankan rakyat. Artinya tindakan pemerintah tidak berpihak kepada rakyat, dan menyakiti hati rakyat," paparnya.

Ia kemudian berharap apa yang telah terjadi belakangan ini tidak meledak seperti bom waktu. Syaratnya, tidak lain adalah pemerintah berpihak pada rakyat.

"Masalah seperti ini sudah menghantui kita hampir di seluruh wilayah Indonesia. Papua, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Sumatera. Sudah terlalu banyak air mata tumpah dan nyawa melayang,” tegasnya.

(bud/ed.olo)

sumber/
source:

suaraagraria.com

LSM Perintis Dukung Komitmen Presiden Terkait Penyelesaian Sengketa Tanah

SUARAAGRARIA.com, Sulsel - LSM Perintis mendukung penuh Komitmen Presiden RI, Susilo Bambang Yodhoyono (SBY)  untuk membentuk tim terpadu dalam mencari penyelesaian masalah sengketa agraria (pertanahan).

“Sebagai lembaga yang sering membela masyarakat kecil tentunya kami mendukung dan menunggu realisasi janji Presiden kita,” tegas Ketua Umum LSM PERINTIS, Hendra Silitonga.

Hendra menambahkan ini adalah bukti orang nomor satu di negeri ini saja memiliki komitmen tinggi untuk menyelesaikan sengketa tanah, oleh karena itu seharusnya diikuti pula oleh jajaran di bawahnya, seperti BPN, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta para kepala daerah.

“Permasalahan pertanahan seperti bom waktu saja, bukan tidak mungkin akan menjadi kerusuhan besar di masa mendatang,” terangnya.

Tambah Hendra, penyelesaian konflik agrarian harus disikapi arif dan bijaksana, dengan pendekatan-pendekatan secara sosial dan budaya yang efektif untuk menghasilkan win-win solution.

“Komitmen Presiden itu karena ia sudah memahami dampak psikologi dari akumulasi kekecewaan rakyat akibat terjadinya kebuntuan kepastian hukum. Beliau juga pasti telah berkonsultasi dan mendapatkan masukan dari para ahli/pakar hukum atas dampak yang mungkin terjadi itu nantinya,” tegasnya.



sumber/
source:

suaraagraria.com


Al Habsyi: TGPF Mesuji Belum Singgung Substansi Sengketa Pertanahan

Jakarta, SUARAAGRARIA.COM: Anggota Komisi III DPR RI Aboebakar Al Habsyi mengungkapkan rekomendasi tim gabungan pencari fakta (TGPF) kasus Mesuji sama sekali tidak menyinggung substansi persoalan konflik, yakni adanya sengketa pertanahan

"Rekomendasi TGPF masih seputar dampak konflik Mesuji saja, misal memberikan pengobatan, membantu pendidikan anak korban ataupun memberikan perlindungan para saksi," tegas Al Habsyi kepada pers di Jakarta, Minggu (22/1).

Menurut dia, padahal seharusnya dalam rekomendasi TGPF disinggung subtansi persoalan konflik Mesuji, yakni sengketa pertanahan, si pemicu konflik.

Tidak itu saja, ia juga menganggap beberapa poin kurang tepat, misalnya poin soal adanya aliran dana ke aparat. Rekomendasinya penambahan anggaran operasional. "Ini kan tidak benar. Berapapun besarnya anggaran jika mentalnya jelek ya tetap saja dana siluman diterima juga," ujarnya.

Seharusnya, paling tidak rekomendasi TGPF itu adalah meminta agar Propam atau Irwasum Polri meningkatkan pengawasan terhadap aparat kepolisian di lapangan.

Poin lainnya yang menjadi kritik Alhabsyi adalah tentang belum tersentuhnya perusahaan yang terlibat. "TGPF hanya berani menyebut supaya menghilangkan jasa keamanan swasta. TGPF sama sekali tidak menyentuh perusahaan yang sebenarnya memiliki kepentingan langsung dan sekaligus menggagas keamanan swasta tersebut," tegasnya.

Politisi PKS itu juga menyatakan bahwa sejak awal dirinya ragu atas pembentukan TGPF. Menurutnya TGPF sifatnya ad hoc dan hanya sebagai pemadam kebakaran.

sumber/
source:

suaraagraria.com

Sengketa Tanah: Situasi Rokan Hulu Kian Kondusif

SUARAAGRARIA.com, Pekanbaru - Ketegangan yang berujung bentrok berdarah antara warga versus Brimob Polda Sumut kini mulai mencair. Bentrok  dikabarkan akibat sengketa tanah warga dengan PT. Mazuma Agro Indonesia (MAI) di kawasan Desa Batang Kumuh, Tambusai, Rohul.

Demikian kuasa hukum masyarakat Desa Batang Kumu, M. Nasir Sihotang, melalui selulernya  di Jakarta, Senin. “Masyarakat sudah mulai bertani, beternak, meski ada juga yang tetap tidak keluar dari rumah mereka ,” terang Sihotang.

Bentrok warga dengan Brimob  dikabarkan menelan luka tembak enam orang warga. Brimob kala itu melakukan pengawalan aksi penggusuran yang dilakukan oleh PT. MAI.

Keenam korban warga yang dimaksud masing-masing, yakni Osmar Sihombing (30), Franky Dolok Pasaribu (30), Nomos Sihombing (34), Johanes Sitorus (35), dan Ranto Sirait (27) serta Joni Sihotang (58).  Kondisi mereka semakin membaik hanya saja masih menjalani perawatan jalan. Biaya perobatan, menurut Sihotang, ditanggung pihak Poldasu.

Sihotang saat ini berada di Jakarta untuk mengahadap Kepala Badan Pertanahan Nasional, Direktur Jenderal Perkebunan (Dirjenbun), Kementerian Kehutanan dan lainnya untuk mencari jalan keluar konflik pertanahan warga Desa Batang Kumu dengan PT MAI. “Mudah-mudahan ada solusi yang terbaik bagi warga,” tukasnya.

(lo)

sumber/
source:

suaraagraria.com

Kostrad Tak Akan Gunakan Kekerasan Hadapi Warga RW 12 Srengseng Sawah

SUARAAGRARIA.com, Jakarta - Kepala Zeni Kostrad, Kolonel CZI Djashar Djamli, menjamin pihaknya tidak akan menempuh kekerasan dalam menghadapi warga RW 12, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Hal tersebut ditegaskannya kepada wartawan, Senin (30/07/2012). "Kami tidak akan pernah adu fisik dengan warga," ucapnya.

Ia menambahkan pihaknya lebih memilih mengikuti jalur hukum. Seperti diketahui warga yang bersengketa lahan seluas 600 meter persegi itu telah mendaftarkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Djashar melanjutkan, lahan kosong di wilayah RW 12 rencananya akan dibangun rumah dinas Zeni Kostrad TNI AD, karena memang lahan itu milik Kostrad. Hal itu sudah sesuai dengan sertifikat yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk dua bangunan, yakni perumahan dan kantor. Sebaliknya warga tidak memiliki sertifikat tanah resmi dari pemerintah.

Dahulu sejak tahun 1962, lanjutnya, memang lahan tersebut menjadi tempat tinggal para purnawirawan Zeni Kostrad TNI AD ketika operasi pembebasan Irian Barat. Tetapi pada kenyataan kini tidak semua rumah di RW 12 dihuni oleh purnawirawan, karena sebagian besar telah berpindah tangan.

Djashar kemudian menerangkan, lahan tersebut boleh-boleh saja ditempati oleh para purnawirawan dan jandanya jika mereka masih hidup. Namun jika keduanya sudah meninggal tidak bisa dilanjutkan ke anak-anaknya.

Menurutnya pihak Kostrad telah melakukan sosialisasi kepada warga atas rencana pembangunan tersebut sejak bulan April lalu. Sejumlah dokumen telah ditunjukan atas rencana pembangunan itu, namun warga tidak mau menerima.

(gor/ed.olo)

sumber/
source:

suaraagraria.com