Sabtu, 04 Mei 2013

Sebagai Negara Bangsa Merdeka Berdasarkan Pancasila, Rakyatlah Pemilik Tanah, Bukan Negara - Bag 1

SUARAAGRARIAcom, Jakarta: Sebagai seorang mantan birokrat yang puluhan tahun telah malang melintang di Badan Pertanahan Nasional (BPN RI), Ir. Bambang Sulistyo widjanarko, MSP. mengaku sangat resah dengan permasalahan agraria negara kita yang menurutnya semakin jauh saja dari cita-cita UUD' 45.



Pemahaman pertanahan, entah sadar atau tidak, mengenai "negaralah pemilik tanah, bukan rakyat" khususnya dari petinggi-petinggi negeri ini, sungguh sangat mengusik benak mantan Kakanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Tengah dan Direktur Pengelolaan Tanah Negara, Tanah Terlantar dan Tanah Kritis BPN RI ini.




Berikut ini petikan perbincangan kami dengan Basuko, sapaan akrabnya, di Jakarta, Kamis (18/04/2013).






Apa yang membuat Bapak setelah purna tugas masih saja mempunyai perhatian pada manajemen pertanahan, sehingga ide membangun Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM) bapak terbitkan dalam buku. Ini adalah sesuatu yang jarang dilakukan oleh seorang pegawai negeri sipil/birokrat mau meluangkan waktu menulis untuk perbaikan lembaga tempat bekerjanya?




Setelah mengabdi dan mencari nafkah di BPN selama 33 tahun lebih barulah mulai timbul kesadaran melakukan koreksi internal atas kurang berhasilnya manajemen pertanahan mewujudkan cita-cita Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA bertujuan menegakkan keadilan dengan menghapuskan penghisapan oleh manusia atas manusia dalam lapangan agraria. Menurut UUPA, Bumi Putera (baca WNI) adalah pemilik tanah. Logikanya petani gurem atau petani tanpa tanah/buruh tani mestinya paling prioritas mendapatkan tanah dari pada menunggu ada tanah terlantar dari hak guna usaha atau ada pelepasan hutan. Sengketa dan konflik dalam lapangan agraria masih saja terjadi dengan eskalasi yang menggugah untuk bertanya apa yang salah dalam mengaplikasikan manajemen pertanahan.




Bisakah bapak menguraikan perkembangan rasa galau Bapak selama bekerja sebagai pegawai BPN (dhl Agraria) sehingga Bapak sampai pada keinginan menulis buku Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM) ?




Ada yang saya rasakan banyak yang tidak logis dalam menangani pekerjaan saat saya masih dinas. Tanah adalah aset kunci. Orang tidak bisa di laut tanpa lewat tanah. Orang tidak bisa melakukan tambang dibawah tanah tanpa lewat tanah. Hutan tidak bisa tumbuh tanpa ada tanah. Sumber daya air untuk kehidupan tidak dapat diakses tanpa melalui tanah, membangun diatas tanah seperti jembatan harus lewat tanah. Tanah adalah aset kunci. Tanpa tanah tidak ada laut, tanpa tanah tidak ada kehidupan. Berarti manajemen pertanahan adalah manajemen kunci dalam penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria meliputi bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terakandung di dalamnya. Aneh saya rasakan bahwa manajemen pertanahan ditangani dengan sambil lalu atau sekedar tertangani. Hal ini dapat dibuktikan dengan status lembaga yang menangani. Data base bidang tanah hingga saat ini, kecuali yang sudah terdaftar di BPN, belum dimiliki oleh pemerintah secara sistimatis. Coba ajukan pertanyaan, berapa jumlah bidang tanah di Indonesia? Pasti jawabannya memakai asumsi. Tidaklah mungkin pertanyaan sederhana tersebut bisa dijawab dengan status manajer dan kondisi manajemen pertanahan seperti saat ini. BPN hanya bisa menjawab bidang tanah yang terdaftar. Sebagian yang belum terdaftar ada di pemerintahan desa atau Kementrian Dalam Negeri. Sebagian ada di Kementrian Kehutanan. Ini kan aneh lembaga pengelola administrasi pertanahan tidak mampu menjawab pertanyaan yang paling sederhana.




Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan UUD 1945 sebagai konstitusi dalam bernegara menurut pemahaman saya, kita ini adalah negara bangsa bukan negara penaklukan. Bangsa dulu yang terbentuk, puncaknya 28 Oktober 1928 saat ikrar sumpah pemuda, baru negara. Negara Indonesia terbentuk diikrarkan 17 Agustus 1945 tetapi realisasinya setelah Proklamasi menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) berakihir dengan dekrit presiden 5 Juli 1959. Setelah 14 tahun merdeka, barulah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan setahun kemudian tersusun Peraturan Dasar Pokok-Pokok agraria (UUPA) 24 September 1960. Mestinya falsafah bangsa Pancasila yang dirumuskan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 terjabarkan secara rinci dalam UUPA, kecuali berupa pedoman umum yang mengatakan bahwa perdata tanah barat yang ada pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dicabut dan segera disusun undang-undang perdata tanah berdasarkan hukum adat, ternyata UUPA belum memuat rincian tafsir Pancasila yang ada dalam pembukaan kedalam batang tunbuh maupun kedalam UUPA.




Sebagai negara bangsa yang terbentuk hasil untaian bersepakatnya masyarakat adat atau desa demi desa yang tersebar diseluruh nusantara maka negara tidak mungkin memiliki sikap sebagai pemilik tanah sebagaimana negara penaklukan. Penjajah mulai dari Inggris sampai dengan Belanda, menempatkan Indonesia adalah negara penaklukan sehingga diterapkan teori domeinverklaring yaitu negaralah yang memiliki tanah dan dalam menetapkan hak atas tanah menerapkan teori "de-jure de-facto" selama tidak ada bukti tertulis maka sebidang tanah adalah tanah milik negara. Dengan domeinverklaring dan teori "de-jure de-facto" banyak bumi putera menjadi kuli (buruh tani) sampai ke suriname melakukan kerja paksa karena seluruh tanah di Indonesia adalah milik negara dan negara memihak pada penanam modal dengan memberikan erpach atau Hak guna Usaha (HGU). Konsep erpach masih muncul dalam HGU yaitu rakyat yang lebih berhak berdasarkan hukum adat menjadi prioritas yang terakhir setelah tanah HGU menjadi terlantar atau dapat menunggu pelepasan hutan (juga diakui sebagai tanah negara) padahal berdasarkan hukum adat, rakyat adalah pemilik tanah bukan negara. Dan inilah yang menjadikan target reforma agraria, memberikan tanah bagi buruh tani atau petani berlahan sempit, tidak bisa direalisasikan. Awalnya saya mengira bahwa carut marut manajemen pertanahan ada pada ketidaktertiban tata administrasi bidang tanah, seperti yang dialami saat menjadi Kakanwil ada taman kota (tanah untuk umum) berubah menjadi rumah/perumahan (taman Makam Dowo, tanam Jati Ngaleh sebelah barat jalan dll), aset PJKA untuk jalan menjadi rumah penduduk sehingga rel KA menjadi mati, munculnya sertipikat tumpang tindih, dan lamanya sertipikat tanah pendaftaran tanah pertama kali dibuat (minimal proses 4 bulan adalah tercepat karena diperlukan pengumuman minimal 2 bulan untuk menclearkan kualitas data tanah dari potensi sengketa), tetapi ternyata ada penyebab yang lebih mendasar yaitu pelaksanaan UUPA belum sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945.




Bisakah Bapak uraikan langkah sistimatis Bapak dalam memperbaiki manajemen pertanahan di Indonesia?




Hanya dengan pikiran jernih saja, kita baru bisa menerapkan atau menafsirkan UUPA sesuai dengan falsafah bangsa Pancasila dan UUD 1945. Jika diantara kita terliputi oleh kepentingan pribadi atau sektoral yang tinggi atau kepentingan rakyat nomor terakhir, maka kopi paste apa yang dilakukan penjajah lebih mudah mengilhami sikap dan mindset kita, mulai dari pembuat undang-undang hingga para pelaksana, sebagian besar mejadi tidak mampu melihat secara terang bahwa pemilik tanah yang sebenarnya bagi kita sebagai sebuah negara bangsa adalah rakyat Indonesia, bukan negara.


Oleh karena secara administrasi bidang tanah {(tata usaha penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T)} belum juga tuntas dan mantap penanganannya, dan secara hukum masih terdapat kekosongan dalam manajemen pertanahan yaitu belum adanya undang-undang pertanahan berdasarkan hukum adat maka untuk memotong penyimpangan jalan yang sudah terlanjur terbiasa dengan sikap negara sebagai pemilik tanah dan lambatnya pembangunan tata usaha P4T dengan lingkup NKRI, menurut saya keadaan saat ini sudah terlambat 30 tahun lebih, maka bangunlah MPBM serempak dalam jangka waktu 5-10 tahun selesai se NKRI, sekaligus menjadi bagian dalam upaya revitalisasi profil desa sebagai usaha ekonomi masyarakat dan sekaligus dalam rangka revitalisasi otonomi desa/petuanan/nagari atau apapun istilah lokalnya sebagai representasi masyarakat adat pembentuk utama negara bangsa dan segera membuat Undang-Undang Pertanahan berdasarkan hukum adat sebagaimana yang diamanatkan oleh UUPA. Kios profil desa merupakan salah satu usaha ekonomi rakyat desa bersifat usaha pelopor atau perangsang munculnya usaha-usaha ekonomi rakyat lainnya setelah potensi desa, peluang usaha, tantangan dan kendala dapat diketahui oleh tim pengelola profil desa setelah MPBM selesai dibangun.




Dapatkan bapak memberikan gambaran jalannya pembangunan tata usaha bidang tanah (P4T) di Indonesia hingga saat ini?


Tata usaha bidang tanah sudah dimulai sejak Reffles memimpin pemerintahan di Indonesia. Utamanya untuk keperluan pajak tanah yang disebut dengan fiskal kadaster. Aspek bidang tanah yang dicatat dominasinya adalah penggunaan dan pemanfaatan tanah. Aspek pemilikian dan penguasaan tanah yang merupakan substansi dari rech kadaster belum tersentuh. Pemetaan bidang tanah untuk untuk menaksir dan memungut pajak tanah (kita kenal dengan pemetaan land rente) oleh Refles yang berpusat di daerah yang berhasil diduduki, diperluas oleh Belanda meliputi seluruh Pulau Jawa, Madura, Bali, Lombok dan sebagian kecil Sumatera disekitar perkebunan tembakau Deli. Kepala desa dan perangkatnya terutama carik desa menjadi petugas pemungut pajak. Perangkat desa yang berhasil menunjukkan prestasi dalam melakukan tata kelola penarikan pajak, mendapatkan hadiah perluasan wilayah desa. Dengan berkembangnya fiskal kadater sejak jaman Reffles hingga dikembangkan dan diperluas oleh Belanda, maka tata adminisistrasi bidang tanah telah pernah ada di Pulau Jawa, Madura, Bali, Lombok dan sebagian kecil Sumatera sekalipun belum rekh kadaster yaitu tata kelola adaminstrasi bidang tanah sebagai alat bukti pemilikan tanah.




Pelaksanaan rech kadaster oleh Belanda bersifat diskriminatif. Hanya bangsa Erofah dan Timur Asing yang disamakan status sosialnya dengan bangsa Eropah yang memperoleh penetapan hak oleh pengadilan dan dapat mengenyam rech kadaster atau sertipikasi tanah. Rakyat bumi putera (kecuali mereka/bumputra yang bekerja di birokrasi belanda dan disamakan status soaialnya dengan bangsa Eropah) tidak diberikan kesempatan memperoleh sertipikat eigendom. Berarti bumi putera tidak memiliki kesempatan untuk mengakses modal usaha dari lembanga keuangan berupa hypotik dan credit verband. Setelah NKRI, mulai UUPA berjalan setahun, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 barulah pemetaan tanah bidang demi bidang dalam unit desa dilakukan yang dikenal dengan pemetaan desa lengkap. Tidak berlanjut lebih dari 10 tahun pemetaan desa lengkap terhenti dengan alasan terbatasnya anggaran negara. Fiskal kadaster yang dikenal dengan klasiran tanah sempat dilakukan pemutahiran secara periodik 5-10 tahun tetapi tidak secara menyeluruh. Keterbatasan anggaran negara juga yang menghambat pelaksanaan secara menyeluruh.




Desa sebagai desa adat adalah otonom sebelum adanya NKRI. Tiga urusan utama yang sudah ada pada desa, yaitu urusan penduduk, pemerintahan dan urusan tanah. Pemerintah desa mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Tata kelola administrasi bidang tanah telah ada sebelum NKRI, di Jawa, Madura, Bali dan Lombok berupa fiskal kadaster, sedangkan selebihnya dilakukan dengan sederhana berupa sket dengan batas-batas berupa tanda-tanda alam, tetapi sesama desa yang bebatasan saling mengetahui batas-batas wilayahnya. Setiap desa memiliki adat istiadat merupakan akar budaya bangsa.


Dengan Undang-Undang Pemerintahan Desa no 5 tahun 1979, desa cendrung diseragamkan sehingga akar budara mengalami kelunturan dan kearifan lokal kurang mendapatkan ruang kreatifitas untuk berkembang, kecuali Bali dan Nagari di Padang dengan desa adat yang masih tumbuh alami yang mampu tumbuh mengikuti perubahan jaman. Untuk mengatasi keterbatasan anggaran negara melakukan inventarisasi P4T dan sekaligus melakukan revitalisasi otonomi desa dalam mengembangkan akar budaya bangsa maka model MPBM bisa diterapkan sebagai langkah revitalisasi profil desa sehingga profil desa muatannya data yang akurat, detil hingga bidang tanah, clear, clean dan fresh setiap saat tanpa dibatasi oleh keterbatasan anggaran negara. Melalui MPBM rakyat desa dicerdaskan mendata, mengelola, memelihara dan melayankan data profil desa untuk berbagai keperluan termasuk sebagai tanda penegasan dan pengakuan hak atas tanah adat, keperluan statistik dlsb.




Dimulai sejak tahun delapan puluhan dikenal program sertpikasi melalui PRONA, AJUDIKASI, Inventarisasi P4T yang volumenya terbatas karena keterbatasan anggaran negara dan diperkirakan 50 tahun kedepan data base P4T seluruh NKRI belum selesai dibuat dan yang sudah terpetakan akan berubah keadaannya baik bentuk obyek maupun subyeknya semakin sulit terjangkau pelaksanaan pemutahirannya. Dengan cara yang ada sekarang jika tanpa MPBM, pembangunan data base P4T tidak akan pernah tuntas dalam membangun data tanah yang clean, clear dan fresh. Pemeliharaan data P4T akan memerlukan biaya lebih besar jika dikelola secara terpusat dibandingkan dilakukan oleh desa.




Nampaknya pembangunan MPBM bermanfaat langsung pada pemerintahan desa bukan pada lembaga Bapak bekerja artinya Bapak memperbaiki rumah orang lain daripada rumah sendiri?





Sepintas nampak memperbaiki rumah orang lain, tetapi rumah hunian bangsa ini sambung menyambung dalam satu tujuan bangsa dan negara, maka perbaikan yang terjadi di desa akan memudahkan kerja lembaga BPN karena tersedianya data tanah yang clean, clear dan fresh sehingga pelayanan pertanahan bisa cepat, murah, tepat dan akurat tanpa menimbulkan potensi konflik dan sengketa tanah. Coba kita tanyakan pada kepala desa atau lurah yang mengeluarkan surat keterangan tanah bebas sengketa apakah sudah disaranai dengan tata buku bidang tanah P4T yang memadai?. Dengan MPBM semua yang ragu atau abu-abu di desa dapat menjadi clear, clean dan fresh.




Bapak telah memberikan solusi yang jitu dalam hal tata administrasi P4T dengan membangun MPBM. Langkah apa yang lain yang diperlukan untuk mengatasi carut marut manajemen pertanahan nasional dan daerah?


Kekosongan hukum dibidang pertanahan tertutama undang-undang pertanahan (perdata tanah) berdasarkan hukum adat sudah saatnya disusun dan diundangkan agar kebijakan nasional dan daerah atas P4T sejalan dengan falsafah Pancasila, UUD 1945 dan UUPA.




Bersambung …. Bagian ke-2 (klik di sini)




Baca Juga:

Basuko: Partisipasi Masyarakat Bisa Kejar Ketertinggalan Sistem Informasi Pertanahan Nasional


Solusi Petisi 147 Guru Besar Hukum & Agraria Kepada SBY Dalam Penanganan Konflik Agraria & SDA


Reformasi Agraria: Hukum Kita Harusnya Mengacu Pada Azas Hukum Adat "Tanah Leluhur"



Related Post:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar