Minggu, 05 Mei 2013

Sebagai Negara Bangsa Merdeka Berdasarkan Pancasila, Rakyatlah Pemilik Tanah, Bukan Negara - Bag 2

SUARAAGRARIAcom, Jakarta: Sebagai seorang mantan birokrat yang puluhan tahun telah malang melintang di Badan Pertanahan Nasional (BPN RI), Ir. Bambang Sulistyo widjanarko, MSP. mengaku sangat resah dengan permasalahan agraria negara kita yang menurutnya semakin jauh saja dari cita-cita UUD' 45.



Pemahaman pertanahan, entah sadar atau tidak, mengenai "negaralah pemilik tanah, bukan rakyat" khususnya dari petinggi-petinggi negeri ini, sungguh sangat mengusik benak mantan Kakanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Tengah dan Direktur Pengelolaan Tanah Negara, Tanah Terlantar dan Tanah Kritis BPN RI ini.




Berikut ini petikan perbincangan kami dengan Basuko, sapaan akrabnya, di Jakarta, Kamis (18/04/2013). Baca Bagian 1 (klik di sini)




Menurut pengetahuan bapak, apakah saat ini sudah ada upaya menyusun undang-undang pertanahan?




RUU Pertanahan saat ini sudah ada di komisi II DPR RI. Saya secara kebetulan dapat mengetahui hal ini pada saat menghadiri seminar bertema "Tanah untuk rakyat: paradox pembangunan berbasis keadilan akses penguasaan lahan" yang diselenggarakann oleh Sabang Merauke Circle di Hotel Meridien Jakarta 26 September 2012.




Bagaimana pendapat Bapak dengan materi RUU Pertanahan yang saat ini telah sampai di komisi II DPR RI?




Naskah akademis, rancangan norma UU Pertanahan serta Penjelasannya, terbukti disusun dan dibuat tanpa dasar filosofi, teori dan ajaran hukum, Pancasila dan UUD 1945 yang bersumber pada filosofi, azas ajaran serta teori Hukum Pertanahan dan Keagrariaan Adat Indonesia. Sumber filosofi, azas, ajaran dan teori yang digunakan, tampak masih kuat dipengaruhi serta mengacu pada teori kepemilikan tanah dan hubungan keagrariaan kolonial Belanda yang ada dalam Nederlands Burgerlijk Wetboek (NBW) yang diterjemahkan dan dilaksanakan di Indonesia dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (KUHPInd.).




Sebagaimana diketahui bersama bahwa KUHPerdata Indonesia yang terkait dengan tanah telah dinyatakan tidak berlaku oleh UUPA. Yang berlaku adalah perdata tanah adat. Perdata tanah adat inilah yang merupakan isi utama dari RUU Pertanahan. Perdata tanah adat hanya bisa digali dan dikembangkan dari filosofi, azas ajaran serta teori Hukum Pertanahan dan Keagrariaan Adat Indonesia yang telah disarikan pada filosofi, azas, ajaran dan teori hukum Pancasila dan UUD 1945.




Mohon kiranya bapak berkenan menguraikan secara lebih rinci atau penjabaran dari pernyataan tersebut diatas?




Naskah akademis yang disusun tidak berhasil mengembangkan filosofi hukum pertanahan dan keagrariaan/agraria adat Indonesia hasil yang dijabarkan dari Pancasila dan UUD 1945. UUPA menghendaki disusunnya undang-undang Pertanahan berdasarkan hukum adat sejak ditetapkan yaitu dengan dicabutnya buku II KUHPerdata yang menyangkut perdata tanah. Dengan belum disusunnya Undang Perdata Tanah berdasarkan Hukum Adat (disingkat Undang-Undang Pertanahan) hingga saat ini, maka manajemen pertanahan terkait dengan hak, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta perbuatan hukum mengalami jalan yang menyimpang karena menerapkan azas, norma dan filosof pemerintah jajahan yaitu negara bersikap dan bertindak sebagai pemilik tanah sedangkan menurut hukum adat, pemilik tanah adalah rakyat Indonesia.




Pengaturan kewenangan yang berkembang hanya pada kewenangan keagrariaan (seperti UUPenataan Ruang, UUKehutanan dsbnya) sedangkan kewenangan perdata tanah berdasarkan hukum adat sebagai payung hukum keagariaan belum terjamah sehingga menimbulkan kekacauan dalam manajemen pertanahan nasional dan daerah. Negara yang memposisikan diri sebagai pemegang hak menguasai sebatas mengatur, pada kenyataannya bersikap sebagai pemilik sehingga pemilik tanah yang sebenar-benarnya rakyat Indonesia menjadi terabaikan sebagaimana penjajah memperlakukan bumi putera (WNI) dalam lapangan pertanahan. Jika undang-undang pertanahan berbasis hukum adat telah menjadi dasar dalam manajemen pertanahan nasional dan daerah maka tidak lagi adanya hambatan dalam pembangunan fisik stimulan pembangunan ekonomi (bandar udara, kawasan industri, kawasan pariwisata, kawasan pertambangan) karena sudah tidak diperlukan prosedur pelepasan hutan sebagaimana saat ini berlangsung. Gubernur, bupati dan walikota bisa mengembangkan wilayahnya sesuai dengan potensi daerah yang ada karena tanah adalah milik masyarakat adat bukan milik negara.




Undang-undang yang mengatur keagrariaan berkembang tanpa pijakan undang-undang tentang hak keperdataan atas tanah berdasarkan hukum adat, sehingga pemberian hak yang selama ini dilakukan negara bukan berdasarkan hukum adat tetapi berdasarkan pola yang ada pada pemberian hak milik pribadi 'privaat eigendom', dimana negara bertindak sebagai pemilik sebenarnya yang tertinggi dan berkuasa penuh. Padahal negara bukan pemilik tanah, sebab pemilik tanah sebenarnya berdasarkan UUD 1945 adalah rakyat/wni. Maka negara hanya berwenang menegaskan dan mengakui hak kepemilikan rakyat sebagai WNI untuk menjadi hak milik yang terkuat dan terpenuh (hak permanen); dan bukan pemegang hak pemilik agraria untuk menggunakan tanah dengan hak pakai yang bersifat hak perorangan sementara (hak non permanen) disertai kewajiban mendaftarkan semua bidang tanah di NKRI. Dengan demikian, Negara tidak berwenang memberikan hak atas tanah kepada Rakyat/WNI yang berdasarkan filosofi hukum Pancasila dan UUD 1945, adalah pemilik tanah sebenarnya.




Tanpa adanya pijakan undang-undang perdata tanah berdasarkan hukum adat maka hukum yang mengatur tentang keagrariaan (baca terkait dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah) telah berubah menjadi bangunan sistem manajemen pertanahan rumit dan carut marut. Kedepannya akan tetap melahirkan sengketa dan konflik pertanahan yang tidak pernah berhenti tumbuh bagaikan tanaman karena akar permasalahan yaitu filosofi, norma dan kaidah perdata tanah yang sesuai dengan jati diri negara bangsa belum berhasil dilahirkan oleh naskah akademis.




Undang-Undang Pertanahan intinya memuat tentang hukum perdata yang berdasarkan hukum adat, hukum yang tertinggi diseluruh NKRI, sekaligus sudah dikaitkan dengan hukum tata negara, hukum dagang, hukum waris, hukum pidana, hukum kebendaan, hukum perpajakan, hukum perbankan bahkan hukum internasional. Undang-undang pertanahan yang mengabaikan hukum adat dan masih mendasarkan pada hukum perdata barat (NBW) sangatlah lemah. Undang-undang pertanahan yang lemah menimbulkan ketidakharmonisan dan kealpaan akan proteksi negara atas rakyat sebagai pemilik tanah dan memudahkan asing mengambil keuntungan dalam kekeruhan yang terjadi. Janganlah membuat Undang-undang yang bersifat mempercepat kepunahan budaya bangsa bahkan sebaliknya buatkan undang-undang pertanahan yang melindungi kearifan lokal sebagai unsur utama dalam negara bangsa dengan mengembangkan undang-undang pertanahan yang berdasarkan hukum adat.




Jika naskah akademis yang sudah tersusun diteruskan menjadi kerangka dasar bagi RUU Pertanahan, maka dapat dipastikan Undang Undang Pertanahan yang akan dihasilkan untuk mengisi kekosongan hukum atas manajemen pertanahan nasional sebagaimana sasaran dan tujuan Reforma Agraria yang telah digariskan melalui TAP MPR IX/2000 tidak tercapai bahkan terjadi pelestarian sumber konflik dan ketidakadilan dalam pemilikan tanah karena kerangka akademisnya belum seutuhnya menjabarkan falsafah Pancasila, UUD 1945 dan UUPA yang kesemuanya tersebut bersumber dari hukum adat yang berkembang selama ini di bumi nusantara.




Apakah ada hal-hal lain yang dapat Bapak garis bawahi sebagai kritik, saran dan masukan atas Naskah Akademis, RUU Pertanahan dan Penjelasannya?




Tentu banyak hal yang sudah disiapkan untuk kritik, saran dan masukan. Dan saking sedemikian banyaknya semuanya adalah hal yang paling mendasar yaitu filosofi, norma dan kaidah berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan UUPA belum berhasil dielaborasi dan digali baik dalam Naskah Akademis maupun dalam RUU Pertanahan. Jika belum muncul di naskah Akademis sudah dapat dipastikan RUU Pertanahannya masih kopi paste dengan sistem yang dipraktekan oleh penjajah.




Apakah Bapak dapat memberikan gambaran hal-hal yang harus berubah jika hukum adat yang sesuai dengan filosofi bangsa menjadi dasar bagi undang undang pertanahan?




Sistem manajemen pertanahan nasional dan daerah mengalami reorientasi yang mendasar yaitu beradasarkan hukum adat yaitu filosofi, norma dan kaidah yang sesuai dengan jiwa bangsa. Hanya dengan model atas dasar hukum adat rasa keadilan dalam penguasaan dan pemilikan tanah akan bisa dibangun.




Karena tanah adalah milik rakyat, maka jenis hak atas tanah berdasarkan pasal 16 UUPA, akan mengalami penyederhanaan yaitu hak milik (bersifat permanen hanya untuk WNI/Rakyat Indonesia) dan hak pakai (bersifat sementara/non permanen) untuk yang bukan WNI seperti badan hukum dan lembaga pemerintah. Tanah negara atau tanah dikuasai negara tidak ada lagi. Kawasan Hutan sudah tidak ada lagi. Untuk keperluan konservasi dialokasikan penggunaan dan pemanfaatan hutan merupakan bagian dari cadangan tanah nasional dan daerah untuk konservasi.




Pajak bumi sudah tidak diberlakukan karena tanah adalah milik rakyat. Yang dikenakan pajak adalah penggunaan dan pemanfaatan tanah atau out put atau hasil pengusahaan tanah.




Pemberian hak sudah tidak perlu, yang masih perlu ada sifatnya penegasan dan pengakuan. Pembagian tanah kembali alias redistribusi tidak ada lagi. Tanah yang terkumpul dari hasil akumulasi batas maksimum atau tanah absente dikembalikan kepada pemilik sebenarnya yaitu rakyat, kepada petani jika tanah pertanian. Tanah perumahan pada tanah yang dinyatakan sebagai sepandan sungai di daerah perkotaan yang telah diduduki masyarakat janganlah dipersepsikan sebagai pendudukan liar tetapi merupakan salah urus dari negara sehingga tidak ada penggusuran. Penyelesaiannya dengan tetap mengfungsikan tanah tersebut sebagai sepadan sungai dengan konsolidasi vertikal terhadap penduduk tanpa adanya penggusuran. Dengan demikian maka pemungutan uang pemasukan pada negara sudah tidak tepat lagi karena tanah bukan milik negara.




Orang asing hanya bisa diberi hak pakai. Orang asing yang kawin dengan WNI sekalipun diatasnami yang WNI hanya diberi hak pakai, karena merupakan harta bersama. Hak pakai bisa turun menurun selama sesuai dengan penggunaan dan peruntukan, dan hak pakai berakhir setelah penggunaan dan peruntukan mengalami perubahan. Hak Pakai juga bisa diperoleh dengan cara menyewa pada tanah Hak Milik, berupa Hak Pakai diatas hak ilik dengan jangka waktu tertentu.




Pengambilan tambang bisa berbentuk kerjasama dengan pemilik tanah (WNI yang pemilik konkrit) atau menyewa. Negara hanya berhak mengambil pajak hasil tambang. Hasil tambang bukan langsung dibagi dengan dengan pemilik tanah orang perorang, tetapi bagian hasil tambang atas tanah-tanah yang ada tambangnya dialokasikan atau dikembalikan berupa pembangunan sarana prasarana kehidupan untuk wilayah desa, kecamatan, kabupaten atau provinsi letak tambang sehingga masyarakat daerah tambang menerima manfaat langsung pada hasil tambang disamping para pemilik tanah ikut bekerja pada usaha tambang tersebut. Konflik dan sengketa tanah lebih banyak terselesaikan pada desa atau tingkat adat dari pada ke pengadilan umum. Gangguan penyelenggaraan pemerintahan dari aspek pertanahan menjadi diperkecil. Sumber konflik ditiadakan.




Ternyata banyak hal yang berubah dengan pengaturan melalui undang-undang pertanahan berdasarkan hukum adat. Bagaimana terhadap penerapan hukum pidana dalam pemilikan dan penguasaan tanah?




Saat ini jika rakyat menuntut tanah HGU kembali menjadi tanahnya, secara baik-baik ditolak dan akhirnya diserobot, dapat dikategorikan pidana. Jika pemilik tanah adalah rakyat, bukan negara, maka penyerobotan tanah oleh para petani yang tidak punya tanah pada tanah HGU terlalu luas, monopoli apalagi terlantar, baik yang berasal dari erfach maupun hasil pelepasan hutan tidak bisa dikategorikan pidana karena tanah itu adalah milik rakyat.




Bagaimana dengan kedudukan Notaris?




Acara keperdataan tanah adat tidak memerlukan notaris. Yang diperlukan adalah PPAT. Dengan demikian Notaris tidak boleh merangkap PPAT karena ada konflik kepentingan dan semua perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah merupakan domein PPAT.




Bagaimana dengan ganti rugi tanah untuk kepentingan umum?




Kepentingan umum adalah kepentingan bersama, maka tidak tepat ada ganti rugi. Yang perlu ada adalah tali asih dan solusi ikutannya berdasarkan kesepakatan adat . Dan tidak tepat pula ada pencabutan hak. Tidak perlu ada pembebasan tanah menjadi tanah negara.




Untuk non kepentingan umum seperti investasi swasta atau pemerintah, keperdataan yang melekat pada rakyat bisa dilakukan dengan sewa (Hak Pakai diatas hak Milik) atau dilepas dengan jual beli dengan harga musyawarah antara pemilik dan pembeli,


selanjutnya tanah otomatis mejadi hak pakai selama dipakai sesuai dengan peruntukan dan penggunaan yang ditetapkan. Peruntukan penggunaan tergantung kepada menejemen keagrariaan daerah. Atau perjanjian sewa menyewa dengan pemilik tanah atau kemiteraan. Tidak harus memilki HGU atau HGB bagi perusahaan penanam modal. Lamanya bisa selamanya sepanjang peruntukan penggunaan disepakat dan sesuai dengan kebijakan keagrariaan daerah.




Bapak sangat menaruh perhatian dengan sistem manajemen pertanahan dengan usulan MPBM dan masukan yang radikal pada draft Naskah Akademis, RUU Pertanahan dan Penjelasan yang saat ini sudah ada di Komisi II DPR RI, apa pesan2 bapak yang perlu digaris bawahi agar kedepan jalannya penyelenggaraan manajemen pertanahan tidak berpotensi menimbulkan konflik pertanahan?




Susunlah undang-undang pertanahan berdasarkan filosofi, azas ajaran serta teori Hukum Pertanahan dan Keagrariaan Adat Indonesia yang disarikan pada filosofi, teori dan ajaran hukum, Pancasila dan UUD 1945.




Tata kelola administrasi P4T mulailah dibangun di desa karena hanya desa yang mampu mengawasi daun jatuh disetiap bidang tanah tanpa membutuhkan biaya perjalanan survey yang mahal. Agar terjangkau dengan anggaran yang ada, MPBM sebagian terbesar hasil swadaya masyarakat dengan merelokasi Alokasi Dana Desa yang dimiliki masing desa sebagai bagian dari revitasi profil desa dan revitasilasi pemerintahan desa melalui layanan data tanah untuk berbagai keperluan. Sarana kerja dan pelatihan didukung oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah. Tenaga pelatihan dapat dititipkan pada Pramuka, Mahasiswa yang KKN atau LSM.




Urusan keagrariaan sebaiknya menjadi kewenangan daerah, sedangkan urusan pertanahan yaitu payung bagi penyelenggaraan keagrariaan bersifat nasional terpusat setingkat kementrian (Pertanahan dan Agraria Republik Indonesia - PARI) yang mempunyai tanggung jawab dibidang manajemen pertanahan nasional dan sekaligus sebagai koordinator penyelenggaraan urusan keagrariaan daerah (kabupaten/kota) melalui Gubernur dan instansi pertanahan yang ada di daerah.




Strategi apa atau kendaraan apa yang bapak gunakan untuk menyampaikan ide-ide bapak secara kontinyu dan konstruktif sehingga tercapai kefektifannya?




Saya dirikan LSM Makmur Mandiri Alam Lestari (MURI LAMTARI) sebagai kendaraan agar ide-ide kontruktif mencapai sasarannya. Anggotanya awalnya adalah para pensiunan yang sejalan mau ikut partisipasi memperbaiki carut marut manajemen pertanahan.




Apa visi dan misi LSM MURI LAMTARI yang bapak dirikan?




VISI


Mengawal tanah sebagai aset kunci dalam mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) dalam Negara Bangsa yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berbasis Bhineka Tunggal Ika berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar ( UUD) 1945 dan Undang Undang No 5 tahun 1960 tentang Undang Undang Pokok Agraria (UUPA).




MISI




Merupakan lembaga nirlaba yang bergerak dibidang riset, konsultasi kebijakan, program, pelatihan dan advokasi dengan mendudukkan persoalan tanah pada posisi Negara Bangsa, bahwa rakyat adalah pemilik tanah yang sebenarnya:




Reorientasi Manajemen Pertanahan Indonesia, banting stir pendekatan yaitu dari yang top down menjadi bottom up dengan gerakan partisipasi masyarakat (social mobilization)




Koreksi Jalannya Reforma Agraria, bukan dari Aset ke Akses, bukan bagi-bagi tanah, tetapi memperbaiki sistem administrasi pertanahan dengan mulai dari desa sekaligus Akses di jalankan, setelah berproduksi/rakyat berdaya barulah aset mengikuti dengan hasil swadaya masyarakat.




Ide-ide Bapak sarat makna dan kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan diwawancarai. Selamat berjuang merealisasikan ide-ide Bapak untuk kemajuan Bangsa dan Negara.




Terima kasih kembali atas kesedian Saudara memberi ruang dan waktu untuk menyampaikan ide-ide yang saya usulkan ke seluruh masyarakat Indonesia. Semoga Tuhan meridhoi. Amien.


Baca Bagian 1 (klik di sini)


Baca Juga:


Basuko: Partisipasi Masyarakat Bisa Kejar Ketertinggalan Sistem Informasi Pertanahan Nasional


Solusi Petisi 147 Guru Besar Hukum & Agraria Kepada SBY Dalam Penanganan Konflik Agraria & SDA


Reformasi Agraria: Hukum Kita Harusnya Mengacu Pada Azas Hukum Adat "Tanah Leluhur"




Technorati : , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,



Related Post:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar